Update

Anggaran Dasar Koperasi Dan Keanggotaan Koperasi Di Indonesia

Anggaran Dasar Koperasi Dan Keanggotaan Koperasi Di Indonesia PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Koperasi adalah suatu kumpulan...

Wilayah Al Hizbah

May 14, 2017


WILAYAH AL HIZBAH
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hisbah adalah sebuah institusi keagamaan di bawah kendali pemerintahan yang mengawasi masyarakat agar menjalankan kewajibannya dengan baik, ketika masyarakat mulai untuk mengacuhkannya dan melarang masyarakat melakukan hal yang salah, saat masyarakat mulai terbiasa dengan kesalahan itu. Tujuan umumnya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan, menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah.
Upaya Negara untuk mejamin kemaslahatan, keadilan, dan permainan jujur disemua lini kehidupan direfleksikan dalam institusi hisbah, Tujuan dibalik hisbah tidak hanya memungkinkan pasar dapat beroperasi dengan bebas sehingga harga, upah, dan laba dapat ditentukan oleh kekuasaan permintaan dan penawaran (yang terjadi juga dinegara kapitalis ), melainkan juga untuk menjamin bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya antara satu dengan yang lain dan mematuhi ketentuan syariat. Setiap tindakan kehati-hatian perlu diambil untuk menjamin bahwa tidak ada pemaksaan, penipuan, pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan,  atau pengabaiaan terhadap pihak yang melakukan akad, dan tidak ada penimbunan dan perusakan pasokan dengan tujuan menaikkan harga.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1)        Apa yang dimaksud dengan hisbah ?
2)        Apa saja tugas dari hisbah ?
C.      Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah:
1)        Untuk mengetahui devinisi dari hisbah.
2)        Untuk memahami hal-hal apa saja yang termasuk tugas dari hisbah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hisbah
Wilāyah al-ĥisbah (ولاية الحسبة) secara etimologi terdiri dari dua suku kata, yaitu wilāyah (ولاية) dan al-ĥisbah (الحسبة). Wilayah berarti kekuasaan, dan kewenangan.  Sedangkan al-ĥisbah (الحسبة) berasal dari akar kata (حسبيحسبحساب) yang berarti menghitung, berpikir memberikan opini, pandangan, dan lain-lain. Sementara al-ĥisbah (الحسبة) itu sendiri berarti imbalan, pengujian, melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.  Dengan demikian, secara harfiyah dapatlah dikatakan bahwa wilāyah al-ĥisbah itu adalah kewenangan melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi wilāyah al-ĥisbah yang dikemukakan oleh para ulama’ sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini:
a.     Imam al-Mawardi:
al-Ĥisbah merupakan wewenang untuk menjalankan amar ma`rūf ketika yang ma`rūf itu sudah jelas-jelas ditinggalkan orang dan mencegah yang mungkar ketika sudah terang-terang dikerjakan orang.
Definisi dengan redaksi yang sama dikemukakan juga oleh ِAbū Ya`lā Muhammad bin al-Ĥusain al-Farā’ dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulţāniyah.
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa suatu perkara akan menjadi wewenang wilāyah al-ĥisbah apabila yang ma`rūf ditinggalkan orang secara terang-terangan dan kemungkaran juga dilakukan secara terang-terangan, seperti orang yang makan dan minum pada bulan Ramadan di tempat umum serta orang yang meminum minuman keras ditempat umum. Dengan demikian, dapat juga dipahami bahwa apabila yang ma`rūf ditinggalkan orang secara sembunyi-sembunyi/tidak terang-terangan dan kemungkaran juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi/tidak secara nyata, maka tidak lagi menjadi wewenang wilāyah al-ĥisbah, melainkan menjadi wewenang peradilan biasa atau wilāyah al-qadlā’ (ولاية القضاء).[1]
  1. Ibnu Taimiyah:
Ibnu Taimiyah tidak menjabarkan secara langsung apa yang dimaksud dengan wilāyah al-ĥisbah, meskipun demikian, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan institusi al-ĥisbah olehnya adalah:
Adapun yang dimaksud dengan al-muĥtasib adalah yang diberi wewenang untuk menjalankan amar ma`rūf dan mencegah yang mungkar, tidak termasuk wewenang peradilan, pejabat administrasi dan sejenisnya.[2]
Berdasarkan pengertian inilah dapat ditangkap makna bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah adalah sebuah institusi yaitu wilāyah al-ĥisbah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa wilāyah al-ĥisbah menurutnya adalah lembaga yang mempunyai wewenang untuk menjalankan amar ma`rūf dan nahy an al-munkar selain dari wewenang peradilan, pejabat administrasi dan yang sejenis dengan itu.
B.       Sejarah Wilāyah al-ĥisbah Pada Masa Rasulullah saw.
Pada masa Rasulullah saw., wilāyah al-ĥisbah belum terbentuk menjadi sebuah lembaga, yang ada hanyalah praktek-praktek penegakan al-Amru bi  al-ma`rūf wa nahy an al-munkar yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Hal ini terlihat pada saat Rasulullah saw. berjalan-jalan di pasar Madinah. Ketika itu Rasulullah saw. melewati sederetan penjual makanan, tiba-tiba Rasulullah saw. memasukkan tangannya ke dalam gundukan gandum, lalu tangan Rasulullah saw. menemukan bagian yang basah. Rasulullah saw. menanyakan kepada penjual gandum tersebut kenapa gandumnya basah. Pedagang itu menjawab bahwa gandumnya ditimpa hujan. Selanjutnya Rasulullah saw. berkata bahwa siapa yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan umatku.[3]
Berdasarkan hadis tersebut terlihat bahwa kegiatan Rasulullah saw. yang selalu keliling mengawasi pasar Madinah tersebut merupakan upaya beliau untuk mengontrol kegiatan perekonomian di pasar. Jangan sampai terjadi perlakuan yang menyimpang dari syari’at Islam di pasar tersebut. Nah, apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. tersebut merupakan cikal bakal lahirnya wilāyah al-ĥisbah pada periode selanjutnya.
Rasulullah pernah menumpahkan tumpukan khamar penduduk Ja’ranah yang sedang memperdagangkan khamar.[4] Ini merupakan tindakan tegas Rasulullah saw. untuk mencegah masyarakat dari kebiasaan mabuk-mabukan. Tindakan Rasulullah saw. tersebut yang dianggap sebagai upaya al-ĥisbah. Dalam hadis lain dijelaskan bahwa seorang laki-laki memperdagangkan harta anak yatim yang dibelikannya kepada khamar. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan agar menumpahkan khamar tersebut. Laki-laki itu mengatakan bahwa modal dagangan itu berasal dari harta anak yatim. Akan tetapi Rasulullah saw. tetap memerintahkan agar menumpahkannya. Kemudian khamar itu ditumpahkan, selengkapnya hadis tersebut berbunyi:
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَال سَمِعْتُ لَيْثًا يُحَدِّثُ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبَّادٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّهُ قَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي اشْتَرَيْتُ خَمْرًا لأَيْتَامٍ فِي حِجْرِي قَالَ أَهْرِقْ الْخَمْرَ وَاكْسِرْ الدِّنَانَ. (رواه الرمذي)
Diriwayatkan dari Humaid bin Mas`adah, dari al-Mu`tamir bin Sulaiman berkata: Saya mendengar Laits berkata dari Yahya bin Abbad dari Anas dari Abū Thalhah Bahwa dia berkata: Wahai Nabi Allah! Saya telah membeli khamr dari harta anak yatim yang beradai di bawah lindunganku. Rasulullah saw. bersabda: Curahkanlah dan pecahkan wadahnya. (HR. al-Tirmiźi)[5]
Rasulullah saw. juga pernah melarang sahabat duduk-duduk di pinggir jalan yang mengakibatkan terganggunya ketertiban dan keamanan. Ketika itu Rasulullah saw. mendatangi sekelompok sahabat yang sedang duduk-duduk di pinggir jalanan umum, kemudian Rasulullah saw. menyuruh mereka agar menjauhi majelis-majelis tersebut. Berikut bunyi hadisnya:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ أَبُو طَلْحَةَ كُنَّا قُعُودًا بِالأَفْنِيَةِ نَتَحَدَّثُ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ عَلَيْنَا فَقَالَ مَا لَكُمْ وَلِمَجَالِسِ الصُّعُدَاتِ اجْتَنِبُوا مَجَالِسَ الصُّعُدَاتِ فَقُلْنَا إِنَّمَا قَعَدْنَا لِغَيْرِ مَا بَاسٍ قَعَدْنَا نَتَذَاكَرُ وَنَتَحَدَّثُ قَالَ إِمَّا لا فَأَدُّوا حَقَّهَا غَضُّ الْبَصَرِ وَرَدُّ السَّلامِ وَحُسْنُ الْكَلامِ. (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Abū Bakar bin Abū Syaibah, dari Affan, dari Abd al-Wahid bin Ziyad, dari Utsman bin Hakiim, dari Ishak bin Abdullah bin Abū Thalhah, dari Bapaknya, berkata: Abū Thalhah berkata: Pada suatu ketika, kami sedang duduk-duduk dan bercakap-cakap di jalanan. Rasulullah saw. mendatangi kami seraya bersabda: Apa kerja kalian duduk-duduk di jalanan? Jauhilah duduk-duduk di jalanan! Jawab kami, Kami hanya sekedar duduk-duduk dan bercakap-cakap. Beliau Bersabda: Kalau begitu, tunaikan hak pejalan. Yaitu: picingkan mata, jawab salam, dan berbicaralah yang baik. (HR. Muslim)[6]
Adapun sebab munculnya hadis ini adalah sebagaimana diceritakan oleh Abū Ţalĥah: Kami duduk-duduk di tepi jalanan umum. Tiba-tiba Rasulullah saw. datang, beliau berdiri di depan para sahabat seraya berkata: mengapa kalian berada di majelis ini? Mereka menjawab: kami berkumpul untuk berbincang-bincang ya Rasulullah! Kemudian beliau bersabda: Jika begitu tunaikanlah hak-hak orang yang lewat, menundukkan pandangan, menjawab salam, dan berkata baik. Al-Zamkhasyari menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah majlis atau pertemuan yang digunakan untuk sekedar obrolan mengeluarkan kata-kata kosong, atau keji. Makruh hukumnya duduk-duduk di pinggir apalagi di tengah jalan karena dapat mempersulit orang-orang yang berjalan. Adapun pertemuan-pertemuan untuk kebaikan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.[7]
Pada awal pemerintahan Islam di Madinah, tugas al-ĥisbah ini masih diemban langsung oleh Rasulullah saw, akan tetapi pada masa-masa berikutnya, setelah penaklukkan kota Mekkah, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam, tugas al-ĥisbah untuk mengawasi pasar beliau delegasikan sahabatnya. Seperti: Untuk pengawasan pasar Madinah beliau delegasikan kepada Umar bin al-Khaţţab. Sedangkan untuk mengawasi pasar Mekkah beliau delegasikan kepada Sa`ad bin Said bin Aş. Selain pengawasan terhadap pasar tersebut, Rasulullah juga pernah menyuruh Ali bin Abi Ţālib untuk menghancurkan seluruh berhala serta bangunan kuburan di Madinah.[8]
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dipahami, bahwa penerapan al-ĥisbah pada masa Rasulullah saw. ini masih dipegang langsung oleh Rasul sebagai kepala negara. Beliau juga menugaskan sahabatnya untuk melaksanakan al-ĥisbah dalam rangka pembelajaran bagi masa selanjutnya.
C.      Wewenang dan Kekuasaan Wilāyah al-Ĥisbah
Fuqaha’ telah menyepakati bahwa wewenang wilāyah al-ĥisbah meliputi seluruh pelanggaran terhadap prinsip amar ma`rūf dan nahy munkar yang berada di luar wewenang wilāyah qadlā’ dan wilāyah al-mażalim, baik yang berkaitan dengan pelanggaran sosial maupun pelaksanaan ibadah.
Pengawasan adalah menjadi tugas terpenting wilāyah al-ĥisbah. Namun begitu wilāyah al-ĥisbah juga mempunyai kekuasaan yang lain, yaitu meliputi kekuasaan pengawasan, mendengar tuduhan, mendengar dakwaan, menasihati atau menegur dan menghukum. Bagaimana pun kekuasaan tersebut terbatas kepada hal-hal tertentu saja, untuk mencegah terjadinya tumpang tindih antara tugas al-muĥtasib dengan hakim. Umpamanya, berbeda dengan wilāyah al-qadlā’, wilāyah al-ĥisbah hanya boleh mengendalikan kemungkaran yang nyata dan terbuka serta adanya tuntunan yang jelas. Bagi kejahatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta perkara yang mengandung dakwaan dan membutuhkan kesaksian, maka perkara itu diserahkan kepada wilāyah al-qadlā’. Akan tetapi, al-muĥtasib boleh bertindak tanpa permintaan, atau pengaduan, sangat berbeda sekali dengan wilāyah al-qadlā’ yang hanya boleh bertindak jika ada pengaduan atau dakwaan.
Tegasnya, Institusi al-ĥisbah adalah elemen pelengkap dalam menjaga syari`at Islam. Kekuasaan dan hukuman secara langsung yang dilakukan oleh al-muĥtasib merupakan sebahagian dari ajaran Islam yang mengarahkan umatnya mencegah kemungkaran dengan ‘tangan’ atau kekuasaan apabila terdapat maksiat yang terjadi di depan mata, terdakwa langsung dikenakan tindakan tanpa perlu dibawa ke hadapan hakim. Tindakan yang diambil oleh al-muĥtasib dilakukan secara berperingkat berawal dengan nasihat. Jika cara nasihat tidak diindahkan, barulah al-muĥtasib mengambil langkah seterusnya berbentuk hukuman. Pelaksanaan hukuman secara langsung ini berlaku jika kesalahan yang dilakukan adalah kesalahan kecil dan ini tidak berlaku bagi yang melakukan kesalahan yang berat atau besar. Lebih jelasnya al-Gazali memaparkan tingkatan dalam mengambil tindakan yang dilakukan oleh al-muĥtasib:
1)       Menyadarkan atas buruk baiknya suatu perbuatan, metode yang digunakan adalah nasehat,
2)     Memperingatkan agar mengerjakan perbuatan yang ma`rūf dan menjauhi perbuatan yang mungkar,
3)     Mengancam dengan hukuman, baik dengan menyebutkan hukuman-hukuman Tuhan maupn hukuman-hukuman negara,
4)       Berkata keras kalau perlu menghardiknya supaya ia sadar atas kesalahannya,
5)     Menyuruh atau melarang sesuatu dengan tangan, jika pihak yang bersalah masih tidak dapat disadarkan dengan ancaman. Al-Muĥtasib bisa juga menggunakan tangan atau kekuasaan (al-tagyir bi al-yad). Tindakan menggunakan tangan ini bukanlah bermaksud memukul tetapi cara menggunakan tangan sekiranya perlu seperti menumpahkan arak yang sedang diminum, melepaskan baju sutera yang dipakai oleh seorang lelaki, menyegel tempat hiburan yang menyesatkan masyarakat, memusnahkan buku-buku yang menyesatkan, membuang tanda salib yang dipakai oleh orang Islam, memulangkan harta orang yang dirampas,
6)     Memberikan hukuman prefentif untuk menyadarkannya seperti melarang berjualan di pasar, mengusir penghuni rumah yang tidak memiliki izin resmi, dan sebagainya.
7)    Menggunakan sebatan/cambuk dan menahan (al-jild wa al-ĥabs). Tindakan ini dilakukan sekiranya nasehat dan peringatan tidak membuat orang yang bersalah berhenti dari mengulangi kesalahannya atau orang yang bersalah secara terang-terangan melakukan kesalahan tanpa menghormati larangan yang ditetapkan, seperti mengulangi makan secara terbuka pada bulan Ramadhan, memperlihatkan aurat, dan meminum minuman keras secara terbuka. Kesemuanya dilakukan tanpa adanya rasa segan pada orang banyak. Tindakan ini baru boleh dilakukan apabila segala upaya lain tidak berhasil. Pemukulan tersebut juga dilakukan dengan tidak membahayakan anggota tubuhnya.
8)    Menggunakan para aparat keamanan atau kekuatan senjata. Tindakan ini perlu dilakukan jika orang yang melanggar undang-undang itu orang yang kuat atau berkuasa dan mencoba melawan dengan menggunakan kekerasan.
9)   Mengenakan pelbagai bentuk hukuman ta`zir.  Hukuman ta`zir ini boleh dilaksanakan dengan pelbagai bentuk baik itu memukul, memenjarakan, menyingkirkan, menjatuhkan atau mengumumkan kesalahan orang tersebut di khalayak ramai. Kekuasaan ta`zir ini diserahkan kepada al-muĥtasib dan hukuman yang dijatuhkan setimpal dengan kesalahan yang dilakukan.
Di samping itu, sejarah Islam menunjukkan bahwa wilāyah al-ĥisbah juga diberikan beberapa  peranan yang khusus menangani wilayah dan sektor sektor tertentu. Umpamanya terdapat anggota wilāyah al-ĥisbah yang khusus menjaga pasar dan pusat perniagaan (umana’ al-sūq) dan al-muĥtasib yang mengawasi perencanaan dan industri (‘urafa’ al-ĥirāi wal-sinā`at). Mereka berperanan untuk mengawasi segala bentuk penipuan, pemalsuan, dan penyelewengan yang terjadi dalam perjanjian perniagaan dan industri. Terdapat juga anggota wilāyah al-ĥisbah yang menjadi wakil di tempat-tempat strategis dari segi ekonomi dan keamanan seperti pelabuhan, kawasan perairan dan sepanjang pantai. Terdapat juga anggota wilāyah al-ĥisbah yang dikenal sebagai petugas-petugas pengamanan (al-a’awan, al-gulam wa al-syurţah) yang berperanan membantu wilayah al-qadlā’ dalam usaha mengawasi peraturan baik secara lembut atau keras.
Secara umum wewenang wilāyah al-ĥisbah dapat dibagi kepada tiga bagian yang dikaitkan dengan al-amru bi al-ma`rūf wa nahy an al-munkar, yaitu:
1)        Perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak Allah swt.
a.         Al-Amru bi al-Ma`rūf
Memerintahkan kepada perbuatan baik ini meliputi semua jenis ibadah seperti shalat wajib lima waktu secara berjamaah, shalat Jum’at, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.  Al-Muĥtasib bertanggungjawab untuk memastikan perintah Allah swt. ini dijalankan oleh orang-orang Islam yang berada di kawasannya.
b.         Al-Nahy an al-Munkar
Melarang manusia dari melakukan kemungkaran (al-nahy an al-munkar) seperti:
1.   Dalam hal aqidah: mencegah munculnya aqidah-aqidah batil yang bertentangan dengan aqidah Islam, seperti: beribadah kepada Allah swt. melalui wasilah kepada pohon-pohon besar, batu-batuan, kuburan-kuburan, dan lain sebagainya.
2.    Dalam hal ibadah: mencegah orang melakukan ibadah tidak mengikut syari`at Islam, orang yang tidak memperhatikan kesehatan, tubuh, pakaian dan tempat sembahyang, orang yang berbuka puasa pada siang hari bulan Ramadhan tanpa ada uzur syar`i, orang yang tidak membayar zakat, orang yang mengajar dan memberi fatwa tanpa ada ilmu, dan lain sebagainya. 
3.  Berkaitan dengan larangan-larangan syara’. Mencegah orang banyak berada di tempat-tempat yang meragukan dan yang bisa mendatangkan fitnah serta tuduhan orang, seperti percampuran antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram di tempat-tempat yang bisa menimbulkan fitnah.
4.   Berkaitan dengan mu’amalah. Hal ini berkaitan dengan transaksi-transaksi yang mungkar dari sudut syara’ seperti jual beli yang tidak sah dan segala urusan jual beli yang dilarang oleh syara’ walaupun di kalangan mereka saling ridla, seperti penipuan dalam harga, timbangan dan sukatan.
2)        Perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak manusia, dapat dibagi kepada dua bentuk, yaitu hak umum dan hak khusus. 
a.         Al-Amru bi al-Ma`rūf
1.      Hak Umum, mencakup semua perkara yang berkaitan dengan keperluan manusia seperti persediaan air minum di dalam sebuah negeri atau kemudahan-kemudahan dalam masyarakat. Perkara ini tergantung kepada keadaan keuangan negeri atau bait al-māl dan pemerintah bertanggungjawab memperbaiki keadaan tersebut. Kalau tidak ada harta bait al-māl, hendaklah diarahkan orang-orang Islam yang kaya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2.       Hak Khusus, mencakup hak-hak yang berkaitan dengan individu-individu, seperti pinjam meminjam, utang piutang, dan lain-lain. Dalam keadaan ini, al-muĥtasib hendaklah memerintahkan kepada orang-orang yang berutang supaya membayar utang-utang mereka dengan ketentuan bahwa yang berutang tersebut mempunyai kemampuan untuk membayar utangnya.
b.         Al-Nahy an al-Munkar
1.  Hak Tetangga, hal ini mencakup seseorang yang berbuat zhalim terhadap tetangganya. Walaupun begitu, al-muĥtasib tidak boleh mengambil tindakan selagi tidak ada pengaduan dari tetangga tersebut.
2.      Di pusat-pusat perniagaan dan di perindustrian. Terdapat tiga keadaan yang perlu diperhatikan. (1) Kesempurnaan dan kekurangan. Contoh: pengobatan yang dilakukan oleh para medis atau dokter, karena jika terjadi kecerobohan dalam tugasnya bisa berakibat fatal bagi pasien. (2) Amanah dan khianat. Contoh: Pekerjaan tukang jahit yang tidak menepati janji. (3) Kualitas atau mutu terhadap yang telah dikerjakannya.
3.        Perkara-perkara yang menjadi hak bersama antara Allah dengan manusia.
a.         Al-Amru bi al-Ma`rūf
1)   Mengarahkan para orang tua untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka apabila anak-anak perempuannya dan calon suami dari anak perempuanya tersebut telah memenuhi segala rukun dan syarat untuk sebuah pernikahan, serta tidak menghalang-halangi mereka untuk itu.
2)    Mewajibkan para wanita mematuhi iddah mereka baik itu iddah wafat maupun iddah talaq.
3)     Mengarahkan para pemilik jasa pengangkutan supaya tidak memberikan muatan secara berlebihan atas kendaraan mereka dan mendesak pemilik hewan ternak agar memberikan makanan yang mencukupi bagi hewan ternak mereka tersebut.
4)    Memelihara barang temuan seperti  mengembalikan barang orang yang hilang kepada yang berhak dan sebagainya.
b.        Al-Nahy an al-Munkar
Antaranya ialah pencegahan terhadap perbuatan mengintip atau merekam secara diam-diam, baik menggunakan kaset maupun kamera video pada rumah orang lain,  mencegah imam-imam masjid dari memanjangkan bacaan dalam shalat dan mencegah para hakim yang tidak melayani orang-orang yang bersengketa, mencegah pemilik alat-alat pengangkutan dari membawa lebih dari ketentuan angkutan dan lain lain. Al-Muĥtasib hendaklah melaksanakan segala tugas yang dipertanggungjawabkan kepada mereka oleh pihak yang berkuasa selain dari perkara-perkara yang disebut di atas.
Selain itu, Seorang al-muĥtasib mempunyai kewajiban untuk menghentikan semua bentuk tindakan meminta-minta dan mengemis dengan cara memaksa para pengemis yang masih mampu bekerja untuk mencari lapangan kerja. Bahkan al-muĥtasib memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman dan sanksi bagi pengemis yang sengaja tidak mematuhi perintahnya.
Al-Muĥtasib juga harus bisa menjaga semua perilaku para pedagang saat mereka sedang melakukan transaksi dengan konsumen para wanita. Jika dia melihat ketidaksenonohan dalam tingkah mereka, maka al-muĥtasib harus memperingatkannya atau menghentikan transaksi tersebut. Ia juga harus memperhatikan hak para budak. Apakah hak-hak mereka sudah dipenuhi dan diperlakukan dengan cara yang adil oleh tuannya, dan tidak dibebeni dengan tugas-tugas di luar kemampuan mereka.
Seorang yang dipercaya sebagai al-muĥtasib haruslah memiliki integritas moral yang tinggi dan kompeten dalam masalah hukum pasar dan industrial. Melalui wilāyah al-ĥisbah, negara menggunakan lembaga itu untuk mengontrol kondisi sosio-ekonomi secara komprehensif atas kegiatan perdagangan dan praktek-praktek ekonomi, yang lebih penting lagi adalah mengawasi industri, jasa profesional, standarisasi produk, mencek penimbunan barang, praktek riba, dan perantara. Al-Muĥtasib juga perlu mengawasi perilaku sosial penduduk, kinerja mereka dalam melakukan kewajiban agama dan kerja untuk pemerintah.
Berdasarkan kepada perbincangan di atas, dapat disimpulkan bahwa wilāyah al-ĥisbah mempunyai wewenang yang agak luas walau pun ia mempunyai batas-batas tertentu. Keluasan skop wewenang wilāyah al-ĥisbah ini berkaitan dengan peranan utamanya yaitu menyeru kepada ma`rūf dan mencegah perbuatan munkar yang memang meliputi aspek yang luas. Keberadaan wilāyah al-ĥisbah sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya syari’at Islam dalam masyarakat.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

1.     Wilāyah al-ĥisbah adalah lembaga yang mempunyai wewenang untuk menjalankan amar ma`rūf dan nahy an al-munkar dengan maksud untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan, menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah.

2.    Fuqaha’ telah menyepakati bahwa wewenang atau tugas dari wilāyah al-ĥisbah meliputi seluruh pelanggaran terhadap prinsip amar ma`rūf dan nahy munkar yang berada di luar wewenang wilāyah qadlā’ dan wilāyah al-mażalim, baik yang berkaitan dengan pelanggaran sosial maupun pelaksanaan ibadah. Dapat disimpulkan pula bahwa wilāyah al-ĥisbah mempunyai wewenang yang agak luas walau pun ia mempunyai batas-batas tertentu. Keluasan skop wewenang wilāyah al-ĥisbah ini berkaitan dengan peranan utamanya yaitu menyeru kepada ma`rūf dan mencegah perbuatan munkar yang memang meliputi aspek yang luas. Keberadaan wilāyah al-ĥisbah sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya syari’at Islam dalam masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Rahman bin Khaldun. 1993.  Muqaddimah Ibnu Khaldūn. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Abū Isya Muhammad bin Isya bin Sawrah al-Tirmiźi. 2000. Al-Jāmi’ al-Şaĥiĥ Sunan al-Tirmiźi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah. [t.th]. Al-Ĥisbah fi al-Islam aw Wazīfah al-Ĥukūmah al-Islāmiyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Al-Bakr, Muhammad Abd al-Rahman. 1998. Al-Sulţāh al-Qadlā’iyah wa al-Syakhşiyah al-Qādli. Kairo: Al-Zukhra’ li A`lām al-Arabī
Ibnu Ĥamzah al-Ĥusein al-Ĥanafi al-Damsyīqī. 1991. Asbab al-Wurud; Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul. Penerjemah: M. Suwarta Wijaya dan Jafrullah Salim. Jakarta: Kalam Mulia
Imam ِAbū al-Ĥusain Muslim bin al-Ĥujjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī. [t.th]. Shaĥiĥ Muslim bi Syarĥ al-Nawāwī. Indonesia: Maktab Dahlan
Mukhlas, Oyo Sunaryo. 2011. Perkembangan Peradilan Islam. Bogor: Ghalia Indonesia
Ubaid al-Qasim bin Salam, Abū. [t.th]. Kitab al-Amwāl. Mesir: Dar al-Fikr



[1] Wilāyah al-Qadlā’ ialah lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga dengan peradilan biasa. Lihat Muhammad Abd al-Rahman al-Bakr, Al-Sulţāh al-Qadlā’iyah wa al-Syakhşiyah al-Qādli, (Kairo: Al-Zukhra’ li A`lām al-Arabī, 1998), Cet. Ke-1, h. 49
[2] Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah [selanjutnya disebut: Taimiyah], Al-Ĥisbah fi al-Islam aw Wazīfah al-Ĥukūmah al-Islāmiyah, [selanjutnya disebut: al-Ĥisbah], (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, [t.th]), h. 16
[3] Ibid.,
[4] Abū Ubaid al-Qasim bin Salam, Kitab al-Amwāl, (Mesir: Dar al-Fikr, [t.th]), h. 133
[5] Lihat ِAbū Isya Muhammad bin Isya bin Sawrah al-Tirmiźi [selanjutnya disebut: Tirmiźi], Al-Jāmi’ al-Şaĥiĥ Sunan al-Tirmiźi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000),Cet. Ke-1, Jilid 2, h. 309
[6] Imam ِAbū al-Ĥusain Muslim bin al-Ĥujjāj al-Qusyairī al-Naisābūrī [selanjutnya disebut: Muslim], Shaĥiĥ Muslim bi Syarĥ al-Nawāwī, (Indonesia: Maktab Dahlan, [t.th]), Jilid 1, h. 141
[7] Ibnu Ĥamzah al-Ĥusein al-Ĥanafi al-Damsyīqī, Asbab al-Wurud; Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits Rasul, Penerjemah: M. Suwarta Wijaya dan Jafrullah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), h. 41
[8] Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldūn, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), Cet. Ke-1, h. 539

Artikel Terkait

Previous
Next Post »