Pokok – pokok dan Kaidah ﺍﻠﻤﺸﻘﺔ ﺘﺠﻠﺐ ﺍﻠﺘﻴﺴﻴﺮ (Kesulitan itu
mendatangkan kemudahan)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Dinamika
kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya.
Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam
keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal
(Rahmatan li al-‘Alamin), Islam tidak
melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam
memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan
dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit.
Terbukti, dalam kaidah ini
ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang Muslim, baik dalam
konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah),
akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan
kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami
kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.
Dalam
penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan itu
mendatangkan kemudahan”. Yang dikenal dengan nama: ﺍﻠﻤﺸﻘﺔ
ﺘﺠﻠﺐ ﺍﻠﺘﻴﺴﻴﺮ.
Qa’idah
ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i
didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah, Qa’idah ini juga
menjadi Qa’idah ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qa’idah yang memiliki
sifat qath’y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan
tumpuannya sangant sempurna.
Sesungguhnya
syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya
pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati
nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasar dari “pemilik syari’ah
yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah Islam.
Kesulitan
sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang yang
menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan sembuh
secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa kewajiban.
Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi dispensasi,
mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian jauh berdasarkan
kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam melaksanakan kewajiban.
Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1. Apakah
yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?
2. Bagaimanakah
tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?
3. Sebab-sebab
apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi?
C. Tujuan dan
Kegunaan Penulisan
Dengan
rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun adalah
untuk mengetahui:
1. Mengetahui
maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir dan memahaminya.
2. Mengetahui
tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir.
3. Mengetahui
sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Pengertian
Kaidah
Secara bahasa,
al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan,kepenatan,
keletihan), Sedang arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat
(gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan
ramah).[1]
Adapun makna terminologi kaidah
asasi ketiga di atas adalah :
ﺍﻥ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻠﺗﻲ ﻴﻧﺷﺎ ﻋﻥ ﺘﻂﺒﻳﻗﻬﺎ ﺤﺭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﻭﻤﺸﻗﺔ ﻔﻰ ﻨﻓﺳﻪ ﺍﻭ ﻣﺎﻟﻪ
ﻓﺎﺍﻟﺸﺭﻳﻌﺔ ﺘﺨﻓﻓﻬﻣﺎ ﺒﻣﺎ ﻴﻗﻊ ﺘﺣﺕ ﻗﺩﺭﺓ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﺩﻭﻥ ﻋﺳﺭ ﺍﻭ ﺨﺭﺝ
“Hukum yang
praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat
kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga bebab tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”[2]
Jadi makna
kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah
bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran
bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf
mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.[3]
2.1
Sumber
Hukum
2.1.1 Al
Qur’an[4]
a. Surat
Al Baqarah ayat 185 disebutkan:
ﻴﺮﻴﺪ ﷲ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻴﺴﺭ ﻮﻻ ﻴﺮﻴﺪ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻌﺴﺭ
Artinya: “Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan
dan tidak mencintai kesulitan bagimu sekalian”.
b. Surat
Al Hajj ayat 78 dinyatakan:
ﻮﻤﺎﺠﻌﻝ ﻋﻠﻳﻛﻡ ﻔﻰ ﺍﻠﺩﻳﻥ ﻤﻥ ﺤﺭﺝ
Artinya: “Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian
suatu kesempitan dalam urusan agama”.
c. Surat
Al Maidah ayat 6 dinyatakan:
ﻣﺎﻳﺮﻳﺪ
ﷲ ﻟﻴﺠﻌﻞﻋﻠﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﺮج
Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan
bagi kamu sekalian”.
d. Ayat
lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah surat An Nisa ayat 28 dinyatakan:
ﻴﺮﻴﺪ
ﷲ ﺃﻥ ﻴﺧﻔﻒ ﻋﻨﻜﻢ
Artinya: “Allah mencintai kemudahan bagi kamu
sekalian”.
2.1.2 Al
Hadits[5]
Banyak
sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar terbentuknya kaidah ini, diantaranya
adalah:
a. ﺍﻨﻤﺎ ﺒﻌﺜﺘﻢ ﻤﻴﺴﺮ ﻴﻦ ﻭﻠﻢ ﺘﺒﻌﺜﻮﺍ ﻤﻌﺴﺮﻴﻦ ﴿
ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺸﻴﺨﺎﻥ ﴾
“Kalian
semua ( kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw) diutus untuk memberi
kemudahan; tidak untuk menyulitkan”. (H.R. Bukhari-Muslim)
b. Hadits
riwayat Imam Ahmad ra.:
ﻗﺎﻞ
ﺮﺴﻮﻞ ﷲ ﺼﺎﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ : ﺇﻥ ﺩﻴﻥ ﷲ ﻴﺴﺮ ٬ ﺜﻼ ﺜﺎ
Rasulullah
saw. bersabda: “Sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah.” (kata-kata
itu) diucapkan tiga kali.
c. Hadits
riwayat Imam Bukhari-Muslim:
ﻤﺎﺨﻴﺮ
ﺮﺴﻮﻞ ﷲ ﺮﺴﻮﻞ ﷲ ﺼﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺒﻴﻦ ﺃﻤﺮﻴﻦ ﺍﻻ ﺍﺨﺘﺎﺮ ﺃﻴﺴﺮﻫﻤﺎ ﻤﺎ ﻠﻢ ﻴﻜﻦ ﺇﺛﻤﺎ
“Tidaklah
Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara, kecuali beliau memilih yang
lebih mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.
d. Hadits
yang berbunyi:
ﻴﺴﺮﻮﺍ
ﻮﻻ ﺘﻌﺴﺮﻮﺍ
“Permudahlah
dan jangan menyulitkan”.
e. Hadits
riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.:
ﺒﻌﺜﺖ
ﺒﺎ ﻠﺤﻨﻴﻔﻴﺔ ﺍﻠﺴﻤﺤﺔ
“Aku
(Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak berhak dan dengan membawa
ajaran yang mudah”.
Selain itu, masih banyak hadits-hadits
lain yang membincang seputar kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh
Nabi saw. Namun kelima hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan
parameter, bahwa Islam bukanlah agama yang sulit.
Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits
yang telah disebutkan diatas, maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib al-taysir yang oleh
Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi sebab
dalam mempermudah dan memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya
menekankan besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan
keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika seorang muslim
diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal, kemudian ia memilih yang
paling ringan baginya, maka pilihannya itu lebih dicintai oleh Allah swt.
Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas
tidak berlaku serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu
yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh.
3.1
Masyaqqah
3.1.1 Definisi
Masyaqqah
Lafazh
masyaqqah secara bahasa berarti
sulit, berat, dan yang searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi al-syai’ berarti ada
sesuatu yang telah memberatkan
seseorang. Di dalam Al Qur’an terdapat
lafazh yang berasal dari akar yang sama dengan masyaqqah, yakni syiqq
al-anfus, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat tujuh.[6]
Adapun
secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna. (1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu
dilakukan oleh mukallaf ataupun
tidak, karenanya ketika ada seorang manusia berusaha untuk terbang dia dianggap
melakukan masyaqqah dalam pengertian
pertama ini. (2) Masyaqqah dimaknai
sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja hal itu
akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam kesulitan yang sangat
berat.[7] (3) Masyaqqah dalam pengertian kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’
dari kebiasaan umum. (4) Masyaqqah
yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.[8]
3.1.2 Karakter
dan Kualifikasi Masyaqqah
Berdasarkan
analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:[9]
1) Masyaqqah
yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah). Misalnya: rasa lelah ketika
melakukan perjalanan haji, tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban haji.
2) Masyaqqah
yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah
jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:
a. Masyaqqah
yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,
keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syariat
memberlakukan keringanan hukum (rukhshah).
Sebab, demikian tulis al-Suyuthi, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama
sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan kewajiban yang
sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada
keselamatan jiwa maupun raganya.
b. Masyaqqah
yang sangat ringan (adna). Seperti
pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama
sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah.
Sebab kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya,
timbulnya mafsadah dari hal-hal
seperti ini masih sangat minim, sehingga kemaslahatan ibadah yang nyata punya
nilai lebih besar harus lebih diutamakan.
c. Masyaqqah
pertengahan (al-mutawassithah) yang
berada pada titik interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa
mendapat rukhshah, jika telah
mendekati kadar masyaqqah pada urusan
yang tertinggi (a’la). Dan sebaliknya
apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah
yang paling ringan (adna) maka ia
tidak dapat menyebabkan rukhshah.
3.1.3 Metode
Taqribi[10]
Masyaqqah
adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif, dalam arti ukuran dan
batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A merasa berat mengerjakan, tapi
si B tidak, padahal pekerjaannya sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena itulah
fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi
guna mengukur berapa jenis masyaqqah
yang bisa memperoleh keringanan hukum.
Secara
umum, taqribi dimaknai sebagai upaya
pengukuran kadar masyaqqah apakah
telah melewati batas minimal atau tidak. Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah, baik telah
mencapai kategori mutawassithah
ataupun sampai level tertinggi (a’la),
maka ia akan mendapat rukhshah.
Seseorang
yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu
dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya bertambah, yakni masyaqqah
berpuasa ditambah masyaqqah
sakit. Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas
minimal (adna) sehingga bisa
mendapatkan rukhshah.[11]
Contoh
lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain mengalami musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa beratnya melakukan
perjalanan.[12]
4.1 Rukhshah
(Toleransi)
4.1.1 Definisi
Rukhshah dan ‘Azimah
Pada
dasarnya, rukhshah adalah sebuah
kodifikasi hukum yang diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan
kata lain, rukhshah adalah sebuah
formulasi hukum yang telah berubah dari bentuk asalnya, karena mempertimbangkan
obyek hukum, situasi, kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai
diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya dalil yang
melarang.[13]
Sebaliknya,
jika formulasi hukum syariat tidak mengalami perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan, ‘azimah adalah suatu formulasi
hukum-hukum dasar syariat yang bersifat umum dan tidak tidak terbatas pada
obyek, situasi, kondisi, dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk kerangka hukum
dasar (fundamental) yang belum
mengalami perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.[14]
Dari
sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti sedia kala, maka ia
dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah
berubah dan mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka ia
dinamakan rukhshah.[15]
4.1.2 Hukum-hukum
Rukhshah[16]
Bila ditilik dari sisi
hukumnya, rukhshah terbagi menjadi
lima:[17]
a. Rukhshah
wajib. Contohnya, memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan, atau minum
arak (khamr) bagi seseorang yang
tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan bangkai atau
minum arak yang notabene haram merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa
menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.
b. Rukhshah
sunnah. Misalnya, shalat qashar bagi
seorang musafir yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau lebih, dan berbuka puasa
bagi orang yang sakit atau musafir yang mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula mengakhirkan
shalat dhuhur, karena cuaca pada awal waktu dhuhur sangat panas. Atau seperti
melihat muka dan dua telapak tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh
diatas merupakan rukhshah yang sunnah
dikerjakan.
c. Rukhshah
mubah. Contohnya, seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa (ijarah).
Dua jenis transaksi ini dikategorikan rukhshah
yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaanya tidak
diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.
d. Rukhshah khilaf
al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti membilas bagian
luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak
mengalami masyaqqah bila harus
mengerjakannya. Begitu pula tayamum
bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli dengan nilai diatas harga
standar, sementara dia sebenarnya memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua
toleransi (rukhshah) dalam contoh
diatas lebih utama untuk tidak dikerjakan.
e. Rukhshah
makruh. Contohnya mengqashar shalat
dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah.
Kemakruhan ini dimotivasi untuk menghindari khilaf
Imam Hanafi yang tidak memperbolehkan qashar
sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km. Versi Hanafiyah). Sementara
al-Syafi’i menilai dua marhalah cukup
untuk melakukan qashar.
4.1.3 Bentuk-bentuk
Rukhshah
Jika ditilik dari
bentuknya, rukhshah terbagi menjadi
enam:[18]
a. Takhfif Isqath (keringanan
pengguguran).
Yaitu: Keringanan dalam
bentuk penghapusan, seperti tidak wajib Sholat bagi wanita yang mentruasi atau
nifas. Tidak wajib Haji bagi yang tidak mampu (istitha’ah).[19]
b. Takhfif Tanqish
(keringanan pengurangan).
Misalnya: Sholat qashar
bagi orang berpergian yang telah mencukupi syarat, seperti disebut dimuka.[20]
c. Takhfif Ibdal
(keringanan penggantian).
Misalnya: Salah satu
syarat untuk melakukan shalat adalah wudlu’ tetapi karena adanya halangan, maka
orang dapat mengganti wudlu’ dengan tayamum.[21]
d. Takhfif Taqdim
(keringanan mendahulukan).
Misalnya: Melakukan
sholat ‘Ashar di waktu dhuhur, atau sholat ‘Isya’ di dalam waktu Magrib bagi
orang yang sedang berpergian (ini yang disebut jama’Taqdim).[22]
e. Takhfif ta’khir
(keringanan mengakhirkan).
Misalnya: kebalikan dari
contoh no. 4, yakni jama’ takkhir, yaitu melakukan sholat Dhuhur di dalam waktu
‘Ashar, atau mengerjakan sholat Magrib didalam waktu ‘Isya’.[23]
f.
Takhfif
Tarkhish (keringanan kemurahan).
Misalnya: orang sedang
sangat kehausan, kalau tidak cepat minum mungkin bisa mati, padahal yang ada
hanyalah arak, maka orang itu di beri keringanan boleh meminum arak tersebut.[24]
4.1.4 Obyek-obyek
Rukhshah[25]
a. Ikrah (terpaksa)
Yaitu: Sesuatu keadaan
yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam
keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah.[26]
Seperti dalam surat
al-Nahl: 106, Allah swt. berfirman:[27]
ﻤﻥ
ﻜﻔﺮﺒﺎ ﷲ ﻤﻥ ﺒﻌﺪ ﺇﻴﻤﺎ ﻨﻪ ﺇﻻ ﻤﻥ ﺃﻜﺮﻩ ﻮﻘﻟﺒﻪ ﻤﻂﻤﺌﻥ ﺒﺎﻹﻴﻤﺎﻥ
Arttinya: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah
beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tenang...”
Misalnya: minum arak
hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman
akan dianiaya kalaua tidak mau minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.[28]
b. Nis-yan
(lupa)
Secara
terminologis, nis-yan adalah
hilangnya daya ingat terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk mengingatnya kembali
dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang bersifat temporal
(sementara). Sehingga dengan hanya sedikit diingatkan, maka otak akan mampu
“merekam” kembali data dan memori yang sempat hilang.[29]
Misalnya: Seharusnya
makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannay karena lupa, maka puasanya
tidak batal.
c. Jahl
(ketidaktahuan)
Misalnya: Orang yang baru
masuk Islam karena tidak tahu, kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka
ia tidak dikenai sanksi.[30]
d. Al-‘Usr
(kesulitan)
Yaitu: Suatu kondisi yang
sulit dihindari.
Misalnya: Debu di jalan
yang bercampur dengan kotoran, pada
hakekatnya adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindar dari debu itu, maka
hukumnya menjadi tidak apa-apa.[31]
e. Safar
(bepergian)
Misalnya: Sholat Dhuhur,
‘Ashar, Isya, masing-masing mestinya empat raka’at, tetapi karena bepergian
yang telah mencukupi syari’at maka masing-masing bisa diqashar menjadi dua
raka’at.
f.
Maradl
(sakit)
Contohnya, seorang yang
sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai pengganti wudlu, atau sholat
sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan
sempurna (berdiri).[32]
g. Naqish
(nilai minus)
Yang termasuk dalam
kategori ini adalah anak-anak, orang gila, idiot (safih), hamba sahaya.[33]
4.1.5 Sengaja
Mencari Rukhshah (Tatabu’ al-Rukhas)
Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha
untuk melakukan sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan rukhshah. Artinya, seseorang dengan
sengaja memilih salah satu alternatif yang mungkin untuk dilakukan demi
mendapatkan keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini tidak boleh
dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua alternatif jalan,
misalnya, dimana yang satu jaraknya mencapai batas yang diperbolehkan untuk
meringkas sholat dan yang lain tidak, namun kemudian dia memilih jalan yang
lebih panjang dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan rukhshah, cara yang demikian ini justru membuatnya tidak bisa
mendapatkan rukhshah.[34]
BAB III
ANALISIS KASUS
1.1
Rukhshah
(Toleransi) dalam Mu’amalah[35]
Banyak
aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah
dalam mu’amalah, diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara terminologis adalah
sesuatu yang yang masih bersifat kabur dan tidak jelas akibatnya, sehingga bisa
dan biasanya akan mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak yang melakukan
transaksi. Dalam setiap mu’amalah, gharar
sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara pelaku transaksi
menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil.
Dalam
hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam mu’amalah, gharar
(ketidakjelasan) terbagi menjadi tiga tingkatan:
a. Ketidakjelasan
yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak boleh dilakukan.
Contohnya, penjualan janin binatang yang masih berada dalam kandungan induknya
dan penjualan sperma hewan pejantan.
b. Ketidakjelasan
yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan. Contohnya, menjual
telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan barang-barang sejenis yang
umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan barang-barang konsumsi diatas tidak
diharuskan melalui pengelupasan kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada,
kualitas isinya sulit diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak
diharuskan melihat kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi
diatas juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini
diperbolehkan karena termasuk kategori imasyaqqah (kesulitan).
c. Ketidakjelasan
tingkat antara maupun tingkat kedua.
Ketidakjelasan (gharar) jenis
ini terbagi menjadi dua:
1. Masyaqqah-nya
besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala yang tidak boleh dijual
beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah jenis ini walaupun kulitnya telah
terkelupas, umumnya masih bisa bertahan lama (awet), sehingga harus dikelupas
terlebih dahulu sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan barang yang tidak
ditentukan secara pasti, seperti menjual salah satu diantara dua baju atau
lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di tempat transaksi.
2. Transaksi yang
tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak dilakukan akan menimbulkan masyaqqah. Contohnya, membeli
biji-bijian dengan hanya melihat bagian luar tumpukannya. Contoh lain adalah
membeli barang hanya dengan melihat contohnya (sample atau master), dimana
contoh itu telah dianggap mewakili kualitas barang-barang lain yang sejenis.
1.2
Rukhshah
(Toleransi) dalam Pernikahan[36]
a. Talak
(perceraian). Disyariatkan karena untuk menghindari masyaqah yang timbul pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi
untuk dipertahankan.
b. Khulu’
dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem-fasakh (membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama).
Toleransi ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak punya
kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami.
c. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadinya perceraian,
karena dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang
matang.
1.3
Rukhshah
(Toleransi) Bagi Mujtahid[37]
Contohnya, seorang hakim
di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid, juga mendapat keringanan. Dalam
membuat keputusan hukum dia cukup berpegang pada persangkaan kuat yang
didapatkan dari kesaksian para saksi yang adil dan terpercaya. Ia tidak
diwajibkan memberi putusan hukum yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang
ada dan dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap
harus berusaha memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal
mungkin.
1.4
Rukhshah
(Toleransi) dalam Ibadah
Contohnya, seorang yang sedang sakit
“diperbolehkan” tayamum sebagai pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk,
tidur, maupun dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir adalah bahwa hokum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syar’i tidak akan pernah didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hokum-hukum-Nya (yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba-Nya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan hati, atau yang berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang mukallaf.
2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:
ﻣﺎﻳﺮﻳﺪ
ﷲ ﻟﻴﺠﻌﻞﻋﻠﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﺮج
Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu sekalian”.
Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz dlayq, yang sama-sama memiliki arti ”kesempitan” atau “kondisi sulit”. Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi. Seperti: Ikrah (terpaksa), Nis-yan (lupa), Jahl (ketidaktahuan), Al-‘Usr (kesulitan), Safar (bepergian), Maradl (sakit), Naqish (nilai minus).
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa
al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar
al-Fikr, Beirut, Libanon, cet. I, 1997
Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah
al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus: Menara Kudus, 1977.
Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah
Fikih, Jakarta: Kencana, 2007.
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2005
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan
Kaidah Asas, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002.
Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id
Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, Jakarta: Anglo Media, 2004.
[1] Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh
Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.
139.
[2] Ibid., hlm 139.
[3] Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55.
[4]
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya:
Khalista, 2005), hlm. 173-175
[5] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 175-177
[6] Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar
al-Ma’rifah, Beirut.
[7] Bagian yang kedua ini oleh
al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama,
berupa sifat yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu
dikerjakan untuk pertama kali akan langsung menimbulkan masyaqqah. Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan
‘sifat asli’ dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan
semacam ini baru terasa setelah dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 120
[8] Ibid, II/ 121
[9] Periksa antara lain, Jalal al-Din
al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair,
ed. Muhammad al-Mu’tashim Billah. Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet.IV, 1998, hal. 168,
dan Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit., hal. 234
[10] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 180
[11] Muhammad Yasin al-Fadani: Op.cit., hlm. 232-233
[12] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181
[13] Baca al-Syathibi, Op.cit., I/301
[14] Ibid.
[15] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181
[16] Ibid.
[17] Jalal al-Din al-Suyuthi: op.cit., hlm. 171
[18] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 183
[19] Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit., hlm. 19
[20] Ibid.,
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
[25] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 185
[26] Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit., hlm. 56.
[27] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189
[28] Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah
al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus, Menara Kudus, 1977,
hlm. 18.
[29] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189
[30] Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit.
[31] Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit.
[32] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 194
[33] Ibid.
[34] Abu al-Faydl Muhammad Yasin
al-Fadani, Op.cit, hal . 474
[35] Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 196
[36] Ibid.
[37] Ibid.
EmoticonEmoticon