Peralihan Hak
Atas Tanah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang telah kita ketahui
bahwa di dalam permasalahan hukum agraria sering kita jumpai kasus konkrit yang
prinsip-prinsip hukumnya telah dikuasai oleh praktisi hukum, tetapi timbul
kesalahan penerapan hukumnya karena ada hal khusus. Misalnya pada kasus
Mahkamah agung yamg pernah mengadili kasus penyelundupan hukum atas pasal 26
ayat 2 UUPA mengenai jual beli hak atas tanah. Jual beli sendiri merupakan
salah satu cara pelalihan hak atas tanah, namun dalam makalah yang kami buat
kali ini akan membahas mengenai peralihan hak atas tanah yang dimuaat dalam
pasal 20 ayat (2) undang-Undang Pokok Agraria: “Hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain”. Peralihan Hak atas tanah sendiri
adalah sesuatu hal yang menyebabkan Hak atas tanah berpindah atau beralih dari
seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atau badan Hukum.
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena dua hal yaitu
peristiwa hukum dan perbuatan hukum, di dalam peristiwa hukum yaitu karena
pewarisan sedangkan di dalam perbuatan hukum terdapat jual-beli, hibah, wakaf
serta lelang yang membutuhkan bukti surat dari PPAT agar dapat disahkan yang
selanjutnya akan dibahas secara lebih rinci lagi. Selain itu dalam makalah ini
juga akan membahas tentang prsyaratan-persyaratan peralihan hak atas tanah baik
karena peristiwa hukum maupum perbuatan hukum dan juga beberapa prosedur dalm
melakukan peralihan hak atas tanah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian peralihan hak atas tanah?
2. Apa saja syarat-syarat peralihan hak atas
tanah?
3. Bagaimanakah peralihan hak melalui
jual-beli, hibah, wakaf, waris dan lelang?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian peralihan hak atas tanah?
2.
Mengetahui
syarat-syarat peralihan hak atas tanah?
3.
Mengetahui
peralihan hak melalui jual-beli, hibah, wakaf, waris dan lelang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengalihan Hak
Berdasarkan pasal 20 tentang
pengertian hak milik adalah hak atas tanah yang turun temurun, artinya tidak
terbatas jangka waktu penguasaannya dan jika pemiliknya meninggal dunia akan
dilanjutkan oleh ahli warisnya. Selain dapat di warisi oleh ahli warisnya, hak
milik juga dapat dialihkan (dalam arti di pindahkan) kepada pihak yang lain,
misalnya melalui jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam
perusahaan.[1]
Hak milik juga diartikan hak terkuat
dan terpenuh, artinya terkuat adalah hak milik atas tanah
lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak
lain, dan tidak mudah di hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah member
wewenang pada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah
yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas jika dibandingkan hak atas tanah
yang lain. Misalnya, peraturan-peraturan tentang Hak milik adat. [2]
Peralihan Hak atas tanah adalah sesuatu hal yang menyebabkan
Hak atas tanah berpindah atau beralih dari seseorang atau badan Hukum kepada
orang lain atau badan Hukum. Hal tersebut bisa terjadi karena; Perbuatan Hukum dan
Peristiwa Hukum
Peraturan
Hak milik atas tanah diatur dalam pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu Hak milik dapat
beralih dan di alihkan pada pihak lain. Dua bentuk peralihan Hak Milik atas
tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Beralih
Beralih artinya berpindahnya Hak Milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa Hukum. Contoh peristiwa hukum adalah meninggal dunianya seseorang, dengan meninggalnya pemilik tanah maka Hak Miliknya secara Hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli waris memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik. Prosedur pendaftaran peralihan hak karena beralihnya Hak Milik atas tanah diatur dalam pasal 42 peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. pasal 111 dan pasal 112 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
2.
Dialihkan
Dialihkan
artinya berpindahnya Hak Milik atas tanah dari pemegang hak atas tanah kepada
pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan Hukum. Contoh perbuatan hukum
yaitu jual beli, tukar menukar, hibah, pernyertaan dalam modal perusahaan (inbreng),
lelang.
Perpindahan
Hak Milik atas tanah karena adanya suatu perbuatan hukum harus dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
kecuali lelang dibuktikan dengan Berita Acara atau Risalah Lelang yang dibuat
oleh pejabat dari kantor lelang. Berpindahnya Hak Milik atas tanah ini harus
didaftarkan ke kantor pertanahan kabupatan atau kota setempat untuk dicatat
dalam buku tanah dan di lakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemilik
tanah lama kepada pemilik tanah yang baru. Prosedur
pemindahan Hak Milik atas tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah,
penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam pasal 37 sampai
dengan pasal 40 peraturan pemerintah No. 24 Tahun 1997. Pasal 97 sampai dengan
pasal 106 permen / kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
Peralihan Hak Milik atas tanah baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang
mempunyai dua kewarganegaraan / kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah adalah batal karena Hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, artinya
tanahnya kembali jadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. [3]
B.
Syarat-Syarat Peralihan Hak
Dalam pasal 58
dinyatakan bahwa selama peraturan-peraturan undang-undang ini belum terbentuk,
maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini serta
diberi tafsiran yang sesuai dengan pasal itu. Pasal 58
merupakan pasal peralihan yang bersifat umum, dalam arti berlaku bagi peraturan
lama yang masih akan diberlakukan dalam rangka hukum tanah yang baru. Adapun
syarat-syarat bagi masih berlakunya untuk
sementara peraturan-peraturan yang bersangkutan adalah:
Pertama : UUPA
menghendaki suatu soal diatur dalam peraturan pelaksanaan. Selama peraturan
pelaksanaan itu belum ada, yang berlaku adalah peraturan yang lama
Kedua : Jika syarat pertama dipenuhi, masih perlu diuji apakah isinya
tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan UUPA
Ketiga : Jika
kedua syarat dipenuhi, apabila perlu peraturan yang lama itu dapat diberi
tafsir yang sesuai dengan jiwa ketentuan-ketentuan UUP[4]
Selain
syarat-syarat umum yang disebut dalam pasal 58, ada dua syarat lain yang
ditetapkan bagi masih berlakunya peraturan-peraturan lama mengenai hak milik,
yaitu :
1. Belum
terbentuknya undang-undang yang akan mengatur hak milik
2. Sepanjang
peraturan yang lama itu tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA
Pasal
19 PP no. 10/1961 mengharuskan setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak
atas tanah dibuktikan dengan akta pejabat yang ditunjuk oleh Menteri agraria
(sekarang menteri dalam negeri). Pejabat itu adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Izin pemindahan hak diatur dalam pasal 2 PMA no. 14/1961:[5]
1. Pemindahan hak atas tanah memerlikan
izin dari instansi pemberi izin.
2. Sebelum diperoleh izin sebagai yang
dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, pemindahan hak tersebut tidak akan di
daftar oleh Kepala Kantor Pendaftara Tanah (KKPT) yang bersangkutan.
Sedangkan
instansi yang berhak memberi izin adalah sebagai berikut:
1. Hak
Milik addalah Bupati/walikota
2. Hak
Guna Usaha adalah Gubernur bila luas tanahnya 25 ha atau kurang dan peruntukan
tanahnya bukan untuk tanaman keras.
3. Hak
Guna Usaha adalah Menteri Dalam Negeri bilaluas tanahny alebih dari 25 ha dan
peruntukannya untuk tandus dan kerass.
4. Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai, keduanya atas tanah Negara, adalah Bupati bila
yang menerima ialah badan hukum Indonesia yang bermodal asing.
5. Hak
Pakai atass tanah Negara adalah Menteri Dalam Negeri bila yang menerima adalah
orang asing, badan hukum asing atau badan hukum Indonesia yang bermodal asing.
Dalam
pemindahan atau peralihan hak atas tanah yang mensyaratkan adanya persetujuan
terlebih dahulu secara tertulis dari pihak lain, yaitu:
1. Pemindahan
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan memerlukan persetujuan dari
pemegang Hak Pengelolaan.
2. Pemindahan
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik memerlukan persetujuan dari pemilik
tanah.
3. Pemindahan
Hak Pakai atas tanah Negara memerlukan persetujuan dari Kantor Kepala
Pertanahan Kabupaten atau Kota Setempat.
4. Pemindahan
Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan memerlukan persetujuan dari pemegang Hak
Pengelolaan.
5. Pemindahan
Hak Pakai atas tanah Hak Milik memerlukan persetujuan dari pemilik tanah.
6. Pemindahan
Hak Sewa untuk Bangunan memerlukan persetujuan dari pemilik tanah.
Selain
itu dalam pemindahan hak atas tanah ada yang tidak mensyaratkan adanya persetujuan
dari pihak lain, yaitu:
- Pemindahan Hak Milik.
- Pemindahan Hak Guna Usaha.
- Pemindahan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara.
Ada
hak atas tanah yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak atas tanah
tersebut adalah Hak Pakai yang dikuasai oleh:[6]
1.
Lembaga Negara.
2.
Departemen.
3.
Lembaga Pemerintah Non-Departemen.
4.
Pemerintah Provinsi.
5.
Pemerintah Kabupaten/Kota.
6.
Pemerintah Desa.
7.
Perwakilan Negara Asing.
8.
Perwakilan badan internasional.
9.
Badan keagamaan.
10.
Badan sosial.
C. Peralihan
Hak Melalui Jual-Beli, Hibah, Wakaf, Waris dan Lelang
1.
Peralihan
Hak Melalui Jual-Beli
Menurur pasal 1457 KUHP dinyatakan
bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, yang membuat pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain membayar
harga yang telah disepakati. Jual beli yang dimaksudkan disini adalah jual beli
hak atas tanah. Secara yuridis yang diperjual belikan adalah hak atas tanah
bukan tanahnya, nemun bertujuan supaya pembeli dapat secara sah dapat menguasai
dan menggunakan tanah. Istilah jual beli disebut dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan, yaitu UU no. 16 Tahun
1985, PP no. 40 Tahun 1996, PP no. 24 Tahun 1997. Namun demikian, didalam
peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan pengertian apa yang
dimaksudkan dengan jual beli.
Pada dasarnya, objek pemindahan
hak melalui jual beli adalah hak atas tanah atau Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Milik Satuan Rumah Susun. Sedangkan syarat
sahnya jual beli hak atas tanah untuk kepentinganpendaftaran pemindahan haknya
ada dua yaitu:
1. Syarat materil:
pemegang hak atas tanah berhak dan berwenang menjual hak atas tanah, dan pembeli
harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak atas tanah yang
menjadi objek jual beli.
2. Syarat formal:
dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak atas tanah harus di
buktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.
Tahapan-tahapan
dalam pendaftaran pemindahan hak atas tanah melalui kantor pertanahan
Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
1.
Persiapan
pembuatan akta.
2.
Pelaksanaan
pembuatan akta.
3.
Pendaftaran
pemindahan hak.
4.
Penyerahan
sertifikat
2.
Peralihan
Hak Melalui Hibah
Hibah tanah merupakan pemberian
seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan
secara sukarela, tanpa ada kontraprestasi dari pihah penerima pemberian, dan
dilakukanpada saat si pemberi masih hidup.[7] Seperti
halnya dengan jua beli dan tukar-menukar, maka hibah tanah bukan merupakan
perjanjian yang pelaksanaannya harus dipenuhi dengan penyerahan haknya secara
yuridis kepada fihak yang menerima hibah, melainkan merupakan perbuatan hukum
yang menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada yang
diberi hibah. Bedanya dengan jual-beli adalah dalam hal hibah pemilik tidak
menerima imbalan sebagai ganti dari pada tana yang dihibahkan itu. Sebagai
perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah, maka hibah
diatur dalam Hukum Tanah, dan menurut pasal 19 Peraturan Pemerintah no. 10
tahun 1961 harus dibuktikan dengan akta yang dibua oleh dan di hadapan PPAT.[8]
Contoh akta hibah juga ditetapkan dalam SKMDN no.
104/DJA/1977. Dan segala sesuatu yang diuraikan jual-beli dengan penyesuaian
seperlunya, berlaku juga untuk hibah. Menurut KUHPerdata, terdapat orang-orang
yang tidak cakap melakukan tindakan hukum berupa hibah, yaitu anak-anak dibawah
umur dan antara suami isteri tidak boleh menjadi subjek persetujuan hibah.
Larangan ini untuk melindungi pihak ketiga yang mempunyai tagihan kepada salah
seorang di antara suami isteri tersebut. Begitu juga penerimaan hibah juga
dihadapan notaris. Dalam Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan “tiada suatu hibah
mengingat si penghibah atau menerbitkan bagaimanapun, selain mulai dengan
kata-kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh
orang yang diberi kuasa oleh si penerima hibah.
3.
Perlihan
Hak Melalui Wakaf
Keberadaan wakaf sebagai salah satu lembaga kepemilikan
telah diatur dalm UUPA. Yaitu pada pasal 49 ayat 1, 2, dan 3 yang menyatakan
bahwa hak milik tanah badan-badan keagamaan dan social, sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan social diakui dan dilindungi. Tanah wakaf
hrus bersifat kekeal dan merupakan hak milik yang peruntukannya bagi penciptaan
kesejahteraan sosoial dan ibadah orang yang mewakafkan tanahnya. Dalam paal 4
UU tentang wakaf dijelaskan tujuan wakaf yaitu memanfaatkan harta benda wakaf
sesuai dengan fungsinya yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta
benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang
wakaf dijelaskan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf yaitu;
(1) Wakif, (2) Nadzir, (3) Harta benda wakaf, (4) Ikrar wakaf, (5) peruntukan
benda wakaf dan (6) Jangka waktu. Dengan memperhatikan unsur wakaf di atas,
keterlibatan pemerintah dalam pengaturan teknis administrative ibadah di bidang
perwakafan sangaat jelas melalui Kementerian Agama dalam mengelola wakaf
sekaligus pengawasannya.[9]
Tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah yang
memiliki status sebagai tanah hak milik. Untuk mendapat kekuatan hukum atas
tanah yang diwakafkan, maka harus dibuatkan ikrar wakaf dengan suatu akta oleh
Kepala KUA sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Pelaksanaan ikrar wakaf,
demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf dianggap sah, jika dihadiri dan
disaksikan oeh sekurang-kurangnya 2 orang saksi, yang disertai dengan
surat-surat bukti kepemilikan tanah, surat keterangan kepala desa dan surat
keterangan pendaftaran tanah. Setelah akta ikrar wakaf dibuat, selanjutnya
dilakukan pendaftaran wakaf tanah milik ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
untuk memperoleh sertifikat.
4. Peralihan
Hak Melalui Waris
Pewarisan
hak adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya sebagai pewaris
kepada pihak lain sebagai ahli waris karena pemegang haknya meninggal dunia. Pewarisan
yang dimaksudkan disini adalah pewarisan hak atas tanah, dalam praktik disebut
pewarisan tanah. Secara yuridis, yang diwariskan adalah hak atas tanah bukan
tanahnya, namun tujuannya yaitu supaya ahli warisnya dapat secara sah menguasai
dan menggynakan tanah tersebut. Istilah pewarisan disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan pertanahan, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 pasal
21 ayat (3). Perolehan hak milik atas tanah juga terjadi karena pewarisan dari
pemilik kepada ahli waris sesuai dengan pasal 26 UUPA. Pewarisan dapat terjadi
karena ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat dari orang yang
mewasiatkan.[10]
Pada dasarnya, objek pemindahan
hak melalui jual beli adalah hak atas tanah atau Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Milik Satuan Rumah Susun. Sedangkan syarat
sahnya jual beli hak atas tanah untuk kepentinganpendaftaran pemindahan haknya
ada dua yaitu:
1. Syarat
materil: ahli waris harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari
hak atas tanah yang menjadi objek pewarisan.
2. Syarat
formal: dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka pewarisan hak atas tanah
harus di buktikan dengan surat keterangan kematian pewaris dan surat keterangan
sebagai ahli waris..
Tahapan-tahapan
dalam pendaftaran pemindahan hak atas tanah melalui kantor pertanahan
Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
1.
Permohonan
pendaftaran peralihan hak.
2.
Pencatatan
peralihan hak.
3.
Penyerahan
sertifikat hak.
5. Peralihan
Hak Melalui Lelang
Lelang adalah penjualan barang yang
terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang
semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului
dengan pengumuman lelang. Yang dimaksud dengan lelang tanah disini adalah
lelang atas hak tanah. Istilah lelang disebut dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan pertanahan yaitu; peraturan Pemerintah No. 40
Tahun 1996, PP no, 24 Tahun 1997 dan Peraturan menteri Negeri agrarian/Kepala
Badan Pertanahan Nasional no. 3 tahun 1997. Prosedur pemindahan Hak Milik atas tanah karena lelang
diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 jo. Pasal 107 sampai
pasal 110 Agraria / Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
Objek lelang tanah adalah hak atas
tanah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar, dan Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai atas tanah Negara. Sedangkan
syarat sahnya jual beli hak atas tanah untuk kepentinganpendaftaran pemindahan
haknya ada dua yaitu:
1. Syarat
materil: pemegang hak atas tanah berhak dan berwewenang leleang hak ats tanah,
dan pembeli lelang harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak
atas tanah yang menjadi objek lelang.
2. Syarat
formal: dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka lelang hak atas tanah
harus di buktikan dengan Berita Acara atau risalah Lelang yang dibuat oleh
pejabat dari Kantor Lelang.
Tahapan-tahapan
dalam pendaftaran pemindahan hak atas tanah melalui kantor pertanahan
Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
1.
Permintaan
surat pendaftaran tanah.
2.
Pelaksanaan
lelang hak atas tanah.
3.
Permohonan
pendaftaran pemindahan hak melalui lelang.
4.
Pencatatan
pemindahan hak melalui lelang.
5.
Penyerahan
sertifikat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peralihan
Hak atas tanah adalah sesuatu hal yang menyebabkan Hak atas tanah berpindah
atau beralih dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atau badan Hukum.
Dasar hukumnya didalam UUPA yaitu dalam pasal 20 ayat (2).
2. Syarat-syarat bagi masih berlakunya untuk sementara peraturan-peraturan yang bersangkutan adalah:
Pertama : UUPA menghendaki suatu soal diatur dalam peraturan pelaksanaan. Selama peraturan
pelaksanaan itu belum ada, yang berlaku adalah peraturan yang lama
Kedua : jika syarat pertama di penuhi, masih perlu diuji apakah isinya
tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan UUPA
Ketiga : Jika kedua syarat dipenuhi, apabila perlu
peraturan yang lama itu dapat diberi tafsir yang sesuai dengan jiwa
ketentuan-ketentuan UUP
3. Peralihan hak melalui jual beli,
lelang, hibah dan wakaf adalah pelalihan hak atas tanah karena adanya perbuatan
hukum, oleh karena itu harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan
dihadapan PPAT, sedangkan peralihan hak melalui pewarisan merupakan peralihan
hak karena adanya peristiwa hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Harsono,
Budi, 2008, Hukum Agraria Indonesia,
Jakarta : Penerbit Djambatan.
Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana
Perangin,
Effendi, 1991, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta : CV.Rajawali
Dr.
ridwan, 2010, Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria: Kajian
Komprehensif, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
……….., 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta
: Kencana
[2] Urip Santoso, Hukum Agraria:
Kajian Komprehensif, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012,hal 92 –
93.
[3] Urip Santoso, Hukum Agraria:
Kajian Komprehensif, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012,hal 93 - 94
[7] Ridwan,
Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI,2010, hal. 304
[10] Adrian Sutedi, Peralihan
Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar grafika, Jakarta, 2007, hlm. 101
1 comments:
Write commentsTips dan Langkah Bermain The Big Match Sbobet Ayo Daftar Sekarang Juga Dan Dapatkan Bonus Berlimpah !!!
ReplyEmoticonEmoticon