Hadis Tentang Pembunuhan Yang Tidak Diancam Hukuman Qisas
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pembunuhan
adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang.[1] Pembunuhan adalah
merupakan salah satu dari tujuh macam dosa
yang paling besar, dan dosa pembunuhan yang paling besar sesudah dosa
kafir.[2] Perbuatan-perbuatan
seperti itu akan merugikan diri sendiri baik di dunia maupun di akhirat.
Hukuman-hukuman yang pantas untuk orang-orang tersebut haruslah yang bisa
membuat dia jera dan tidak mau mengulangi kesalahan-kesalah yang diperbuatnya.
Islam
menempat tindakan pidana pembunuhan sejajar dengan tujuh macam dosa besar.
Menghilangkan nyawa seseorang tanpa alasan agama yang sah sama dengan
menghilangkan nyawa seluruh umat manusia. Islam menempatkan jiwa sesudah agama,
sebagai hak asasi untuk dibela, dijaga dan dihormati. Untuk menghargai dan
menghormati betapa penting hak hidup sehingga dalam hukum Islam memberikan
sanksi pidana kepada pembunuh dengan hukuman mati. Hukuman terhadap pelaku
kejahatan pembunuhan dikenal dengan qishash.[3] Namun dalam Islam hukuman
qishash bagi pelaku pembunuhan tidak dapat diterapkan apabila tidak memenuhi
unsur-unsur tertentu.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah
yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
- Apa pengertian dari qishash?
- Bagaimanakah unsur-unsur pembunuhan yang tidak diancam dengan hukuman qishash?
- Bagaimanakah bunyi hadis yang menyatakan tentang seorang pembunuh yang tidak diancam hukuman qishash?
1.3
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan
yang ingin dicapai oleh penyusun adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui pengertian dari qishash.
- Untuk mengetahui bagaimana unsur-unsur pembunuhan yang tidak diancam dengan hukuman qishash.
- Untuk mengetahui bagaimana bunyi hadis yang menyatakan tentang seorang pembunuh yang tidak diancam hukuman qishash.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Qishash
Qishash
berasal dari bahasa Arab dari kata قِصَا صُ adalah salah satu dari
pembagian hukuman yang tergolong jarimah (kriminal).
Secara definitive, qishaah adalah hukuman bagi sipelaku pidana sesuai dengan
perbuatannya menghilangkan jiwa manusia, atau anggota badan dari bagian anggota
badan mereka.[4]
Sedangkan
Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Fauzân - hafizhahullâh- mendefiniskannya dengan:
‘al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku
kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.[5]
Dapat
disimpulkan Qishâsh adalah melakukan pembalasan yang sama atau serupa, seperti
istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”.
2.2
Syarat-syarat
Qishash
- Pembunuh sudah balig dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qisas bagi anak kecil atau orang gila, sebab Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada qishâsh terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab udzur, seperti tidur dan pingsan.[6]
- Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qisas bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qisas bila anak membunuh bapaknya.
- Orang yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
- Qisas dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
- Qisas itu dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
- Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa orang kafir, pezina muhsan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadis Rasulullah: ‘Tidaklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (Hr. Tirmidzi dan Nasa’i)
2.3
Hadits
Pembunuh yang Tidak Diancam Qishash
عَنْعُمَرَبْنِالْخَطَّابِرَضِيَاللّٰهُعَنْهُقَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَاللّٰهِصَلَّىاللّٰهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لَايُقَادُالْوَالِدُ
بِالْوَلَدْ۰رَوَاﻩُأَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُمَاجَهْوَصَحَّحَهُ
ابْنُالْجَارُوْدِوَالْبَيْهَقِيُّ، وَقَالَالتِّرْمِذِيُّ: إِنَّهُ مُضْطَرِبٌ۰
Dari
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Seorang ayah tidak dituntut karena
membunuh anaknya. ”(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Hadits shahih menurut Ibnu Al-Jarud dan Al-Baihaqi. At-Tirmidzi mengatakan
hadits ini mudhtharib).[7]
عَنْ أَبي جُحَيْفَةَ قالَ: قُلْتُ لِعَليَ: هَلْ
عِنْدَكُمْ شيءٌ مِنَ الْوَحْي غَيْرَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: لا، والّذِي فَلَقَ
الحَبّةَ وَبَرَأَ النّسَمَةَ، إلا فَهْماً يُعْطِيهِ اللَّهُ تَعَالَى رَجُلاً في
الْقُرآنِ ،وَمَا في هذِهِ الصَّحِيفَةِ؟ قَالَ: الْعَقْلُ وَفِكاكُ الأسِير،
وَأَنْ لا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكافِرٍ" رَوَاهُ الْبُخاريُّ.
Dari Abu Juhaifah, ia
berkata, “Aku bertanya kepada Ali, ‘Adakah padamu sesuatu dari wahyu selain
Al-Qur’an?’ Ia menjawab, “Tidak. Demi Rabb yang menumbuhkan bijian dan
menciptakan makhluk, kecuali pemahaman yang dianugerahkan Allah kepada
seseorang dalam memahami Al-Qur’an.” Aku bertanya, ‘Apa yang terdapat dalam
lembaran ini?’Ia berkata,”Denda bunuh [diyat], membebaskan tawanan, dan orang
muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.”
(HR. Al-Bukhari)[8]
وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ والنّسَائي مِنْ
وَجْهٍ آخَرَ عَنْ عَليٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْه وَقَالَ فِيهِ:
"المؤمِنُونَ تَتَكافأُ دِمَاؤُهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمّتِهِمْ أَدْناهُمْ،
وَهُمْ يَدٌ عَلى مَنْ سِوَاهُمْ، وَلا يُقْتَلُ مُؤمِنٌ بِكافِرٍ، ولا ذُو عَهْدٍ
في عَهْدِهِ. وَصَحّحَهُ الحاكِمُ.
Ahmad, Abu Dawud, dan
An-Nasa’i, meriwayatkan dari jalan lain bahwa Ali Radhiyallahu Anhu berkata,
“orang mukmin itu sama hak darahnya, orang yang terpandang rendah diantara
mereka boleh melakukan sesuatu atas tanggungan mereka; mereka bagaikan satu
tangan melawan orang lain; orang mukmin tidak boleh dibunuh karena membunuh
orang kafir, demikian pula orang kafir yang masih terikat dengan perjanjiannya
(ia tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir).”
(Hadits shahih menurut Al-Hakim)[9]
2.4
Kualitas
Hadits
Sanad hadits yang diriwayatkan
At-Tirmidzi ini, terdapat Al-Hajjaj bin Arthah, bentuk idhthirabnya: ‘Ulama
berbeda pendapat terhadap rawi Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya. Ada
yang berpendapat: dari Umar, inilah yang disebut dengan meriwayatkan dari kitab
(catatan). Ada yang berpendapat: dari Suraqah. Ada yang berpendapat: tidak ada
perantara dalam menerima hadits ini, namun ada rawi yang bernama Al-Mutsanna
bin Ash-Shabah yang dikenal dha’if. At-Tirmidzi berkata, “ Diriwayatkan dari Amr
bin Syu’aib secara mursal, hadits ini ada, idhthirabnya, dan dijadikan dasar
pengamalan oleh pakar ilmu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad,
Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dan menurut Ibnu Al-Jarud dan Al-Baihaqi Hadits “Seorang ayah tidak dituntut karena membunuh
anaknya” dinyatakan shahih.
2.5
Asbabul
Wurud
Hadits
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Yahya bin Sa’id dan Amr bin Syuaib bahwa seorang lelaki dari
kabilah Bani Mudlaj, Qatadah namanya, telah memukul anaknya dengan sebilah
pedang sehingga mengenai betisnya. Maka kami melihat lukanya, kemudian ia mati.
Kemudian menghadaplah Suraqah bin Ja’tsham kepada Umar bin al-Khattab ra., lalu
diceritakan peristiwa itu kepadanya.
Umar
ra. Lalu berkata kepadanya, “Seandaikanlah pada air sejumlah seratus dua puluh
ekor unta sampai saya datang kepadamu.” Tatkala Umar datang diambillah olehnya
dari unta-unta itu sebanyak tiga puluh ekor unta hilqah, tiga puluh ekor unta muda dan empat puluh ekor unta
berumur satu tahun. Kemudian ia pun berkata, “Manakah saudara si terbunuh itu?”
Maka saudaranya pun menjawab, “Saya.” Maka berkatalah Umar ra., “Ambillah
unta-unta itu. Karena Rasulullah Saw. Telah bersabda: “Pembunuh itu tidak memperoleh sesuatu pun (dari harta warisan).”[10]
2.6
Kandungan
Hukum Hadits
Hadits
ini merupakan dalil bahwa bapak tidak diqishash apabila membunuh anaknya. Namun
dalam masalah tersebut ada Jumhur shahabat dan yang lainnya seperti
Al-Hadawiyyah, Al-Hanafiyyah, Ash-Syafi’iyyah, Ahmad dan Ishaq berpendapat
tidak diqishash secara mutlak bapak yang membunuh anaknya berdasarkan hadits
ini, mereka berkata, “ Karena bapak penyebab keberadaan anak, maka anak tidak
bisa menjadi penyebab hilangnya nyawa bapak.”
Umar
juga memutuskan hal serupa pada kasus Al-Madlaji, lalu mewajibkan bapak
membayar diyat serta tidak mendapatkan bagian dari harta diyat itu, dan
berkata, “Seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian sesuatu apapun ,
maka ia tidak berhak mendapatkan warisan berdasarkan ijma’ ulama, dan jumhur
ulama menambahkan juga dari harta-harta lainnya. Seorang kakek dan ibu sama
kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama dalam gugurnya hukuman qishash.
Hadits
ini mencakup beberapa masalah:[11]
Pertama: Al-‘Aql,
yaitu diyat, akan dijelaskan penetapannya.
Kedua:
membahas tawanan, yaitu hukum yang berkaitan dengan membebaskan tawanan dari
tangan musuh, ada beberapa hadits yang menganjurkan akan hal tersebut.
Ketiga:
seorang muslim tidak diqishash apabila membunuh orang kafir. Inilah pendapat
jumhur ulama, demikian pula orang kafir yang masih terikat dengan perjanjiannya
(ia tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir), orang yang masih terikat
perjanjian itu adalah seseorang yang berasal dari Dar Al-Harb (daerah yang memerangi kaum muslimin) yang masuk
kedaerah Islam setelah mendapatkan jaminan keamanan, maka haram hukumnya
membunuhnya sampai ia kembali kedaerahnya, seandainya ia dibunuh oleh orang
Islam.
Al-Hanafiyyah
berkata, “Orang Islam diqishash jika membunuh orang kafir dzimmi tanpa sebab
yang hak, dan tidak diqishash apabila membunuh orang kafir yang mendapatkan
jaminan keamanan; berdasarkan hadits, “Demikian
pula orang kafir yang masih terikat dengan perjanjiannya (ia tidak boleh
dibunuh karena membunuh orang kafir),” masih ada hubungan dengan sabda
Nabi: ”Mukmin” maka kalimat yang kedua harus ditentukan sebagaimana kalimat
yang pertama, maka kalimatnya adalah demikian juga orang kafir yang masih
terikat perjanjiannya tidak diqishash apabila membunuh orang kafir, dan juga
harus menentukan maksud orang kafir dengan menghubungkan dengan lafazh harbi; karena dzimmi diqishash apabila membunuh kafir dzimmi dan juga orang muslim.
Makna
sabda Nabi: “Orang yang terpandang rendah diantara mereka boleh melakukan
sesuatu atas tanggungan mereka” apabila seorang muslim memberikan jaminan
keamanan kepada kafir harbi sama halnya seluruh kaum muslimin memberikan
jaminan keamanan kepadanya, walaupun yang memberikan jaminan itu seorang wanita
sebagaimana kisah Ummu Hani’. Akan tetapi, disyaratkan si pemberi keamanan itu
mukallaf (melakukan syari’at dengan merdeka) sama halnya kaum muslimin
memberikan jaminan keamanan; maka tidak boleh dilanggar. Sabda Nabi, ”Mereka
bagaikan satu tangan melawan orang lain” yaitu mereka bersatu melawan musuhnya
dan tidak boleh memisahkan diri dari mereka, bahkan mereka saling tolong
menolong melawan musuh-musuh Islam yang diibaratkan seperti satu tangan dan
perbuatan mereka merupakan implementasi dari semuannya.[12]
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Setelah
membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai
berikut:
3.1.1 Qishash berasal
dari bahasa Arab dari kata قِصَا صُ
yang berarti mencari jejak seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum
Islam berarti pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh
maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga
anggota tubuhnya.
3.1.2 Unsur-unsur
pembunuhan yang tidak diancam dengan hukuman qishash antara lain adalah:
a. Anak kecil
yang belum cukup usia (belum balig).
b. Gila atau
hilang akal.
c. Terpaksa atau dalam paksaan.
d. Pembunuh bukan orang tua dari si
terbunuh.
e. Pembunuhan terhadap orang yang
dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah.
f. Pemaafan atau perdamaian.
3.1.3 Berikut
ini adalah bunyi hadis tentang pembunuh yang tidak diancam dengan hukuman
qishash:
عَنْعُمَرَبْنِالْخَطَّابِرَضِيَاللّٰهُعَنْهُقَالَ:
سَمِعْتُ
رَسُوْلَاللّٰهِ صَلَّىاللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:لَايُقَا
دُالْوَالِدُ بِالْوَلَدْ۰رَوَاﻩُأَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُمَاجَهْوَصَحَّحَهُ
ابْنُالْجَارُوْدِوَالْبَيْهَقِيُّ،وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: إِنَّهُ مُضْطَرِبٌ۰
Dari
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Seorang ayah tidak dituntut karena
membunuh anaknya. ”(HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Hadits shahih menurut Ibnu Al-Jarud dan Al-Baihaqi. At-Tirmidzi mengatakan
hadits ini mudhtharib).
عَنْ
أَبي جُحَيْفَةَ قالَ: قُلْتُ لِعَليَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شيءٌ مِنَ الْوَحْي غَيْرَ
الْقُرْآنِ؟ قَالَ: لا، والّذِي فَلَقَ الحَبّةَ وَبَرَأَ النّسَمَةَ، إلا فَهْماً
يُعْطِيهِ اللَّهُ تَعَالَى رَجُلاً في الْقُرآنِ ،وَمَا في هذِهِ الصَّحِيفَةِ؟
قَالَ: الْعَقْلُ وَفِكاكُ الأسِير، وَأَنْ لا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكافِرٍ"
رَوَاهُ الْبُخاريُّ.
Dari Abu Juhaifah, ia
berkata, “Aku bertanya kepada Ali, ‘Adakah padamu sesuatu dari wahyu selain
Al-Qur’an?’ Ia menjawab, “Tidak. Demi Rabb yang menumbuhkan bijian dan
menciptakan makhluk, kecuali pemahaman yang dianugerahkan Allah kepada
seseorang dalam memahami Al-Qur’an.” Aku bertanya, ‘Apa yang terdapat dalam
lembaran ini?’Ia berkata,”Denda bunuh [diyat], membebaskan tawanan, dan orang
muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.”
(HR. Al-Bukhari)
وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ والنّسَائي مِنْ
وَجْهٍ آخَرَ عَنْ عَليٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْه وَقَالَ فِيهِ:
"المؤمِنُونَ تَتَكافأُ دِمَاؤُهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمّتِهِمْ أَدْناهُمْ،
وَهُمْ يَدٌ عَلى مَنْ سِوَاهُمْ، وَلا يُقْتَلُ مُؤمِنٌ بِكافِرٍ، ولا ذُو عَهْدٍ
في عَهْدِهِ. وَصَحّحَهُ
الحاكِمُ.
Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa’i,
meriwayatkan dari jalan lain bahwa Ali Radhiyallahu Anhu berkata, “orang mukmin
itu sama hak darahnya, orang yang terpandang rendah diantara mereka boleh
melakukan sesuatu atas tanggungan mereka; mereka bagaikan satu tangan melawan
orang lain; orang mukmin tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir,
demikian pula orang kafir yang masih terikat dengan perjanjiannya (ia tidak
boleh bunuh karena membunuh orang kafir).” (Hadits shahih
menurut Al-Hakim)
3.2
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima
bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan karya-karya berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-rahman
al-jaziri. tt. Kitab al-fiqh ala majahib
al-arba’ah, Juz V. Beirut, Libanon: Dar al-fikr.
Haliman. 1971. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah. Jakarta: Bulan Bintang.
K.H. Kahar Masykur. 1992. Terjemah Bulughul Maram, Jilid 2.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani.
2009. Subulus Salam Syarah Bulughul Maram
Jilid 3. Jakarta Timur: Darus Sunnah Press.
Shâlih bin Fauzân al-Fauzân. 1426 H. Al-Mulakhash al-Fiqh, Cetakan ke-2. Jam’iyah
Ihyâ’ at-Turâts al-Islâmi.
Syekh Al Hafiedh. 1993. Terjemah Bulughul Maram. Surabaya:
Al-Ikhlas.
Wahbah
Zuhali. 1989. al
Fiqh al Islami wa Adillatuhu,
Juz VI. Demaskus: Dar al Fikr.
Drs. Imam Ghozali Said MA. 1995. Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jilid 5.
Jakarta: Pustaka Amani.
[1] Wahbah
Zuhali. al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Juz VI. (Demaskus: Dar al
Fikr, 1989). Halaman.
217.
[2] Haliman. Hukum Pidana
Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971). Halaman. 275
[3] Haliman. Hukum Pidana
Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971). Halaman. 275
[4] Abd
al-rahman al-jaziri, kitab al-fiqh ala
majahib al-arba’ah Juz V, (Beirut, libanon: dar al-fkr, tt.)h. 244.
[5] Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhash al-Fiqh, Cetakan ke-2,
(Jam’iyah Ihyâ’ at-Turâts al-Islâmi, 1426 H). Halaman. 476
[6] Imam Ibnu Qudâmah, al-Mughni,
tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdilmuhsin at-Turki, cetakan ke-2 tahun 1413 H. penerbit
Hajar. 11/481.
[7] Syekh Al Hafiedh, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993). Halaman. 758.
[8] Syekh Al Hafiedh, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993). Halaman. 758 – 759.
[9] Syekh Al Hafiedh, Terjemah Bulughul Maram, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993). Halaman. 759.
[10] Drs. Imam Ghozali
Said M.A, Terjemah Bidayatul Mujtahid,
Jilid 5. (Jakarta: Pustaka Amani, 1995). Halaman. 147 – 148.
[11] Muhammad bin Ismail Al-Amir
Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah
Bulughul Maram Jilid 3. (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009). Halaman.
445
[12] Muhammad bin Ismail Al-Amir
Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah
Bulughul Maram Jilid 3. (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009). Halaman.
446.
2 comments
Write commentsAhlibet88
ReplyAhlibet 88
Daftar Situs Ahlibet Ahlibet
Fanspage Ahlibet
Prediksi Togel Ahlibet
Bola Tangkas merupakan permainan yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Permainan ini menggunakan alat mesin dan banyak peminatnya setiap waktu.
ReplyPermainan Bola Tangkas ini merupakan permainan yang menggunakan kartu POKER. Namun Anda jangan salah mengira bahwa permainan ini sama dengan permainan Poker Online.
Untuk permainan ini punya perbedaan sendiri, yaitu pada bagian cara penaruhan kartunya. Sedangkan di POKER ONLINE biasanya akan ditaruh di meja namun Bola Tangkas ditampilkan dilayar sebuah mesin SLOT.
Begitu banyak BONUS yang bisa Anda dapatkan dengan cara memainkan permainan ini :
- Royal Flush
- 5 Of A Kind
- Straight Flush
- 4 Of A Kind
- Full House
- Straight
- Flush
- 3 Of A Kind
- 2 Pair
- Ace Pair
Dengan minimal Deposit Rp 50.000 saja sudah dapat memainkan permainan BOLA TANGKAS di BOLAVITA.
Bolavita juga bekerja sama dengan Bank ternama Indonesia. Guna mempermudah Anda untuk bertransaksi.
Yuk gabung sekarang dan jadilah Pemenang Jackpot di BOLAVITA !!
Hubungi kami di sini :
WA / TELEGRAM : +628122222995
#Bolavita #bolavitajackpot #bolatangkas #tangkasnet #betting #bettingonline #situsjuditerpercaya #agenjuditerpercaya #livestreaming #taruhanonline #pokerindonesia #tangkasindonesia
EmoticonEmoticon