Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tanah
merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi seluruh makhluk hidup,
dan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Arti penting ini menunjukkan bahwa adanya pertalian yang sangat erat antara
hubungan manusia dengan tanah, karena tanah merupakan tempat pemukiman dan
tempat mata pencaharian bagi manusia. Tanah juga merupakan kekayaan nasional
yang dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha maupun pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional.
Dalam hal ini suatu perkembangan
pembangunan yang dilakukan di Indonesia semakin hari semakin
meningkat. Misalnya dengan melakukan kegiatan pembangunan gedung sekolah inpres, rumah sakit, pasar,
stasiun kereta api, tempat ibadah, jembatan, dan pengadaan
berbagai proyek pembuatan dan pelebaran jalan serta pembangunan lainnya
memerlukan tanah sebagai sarana utama dalam pembangunan. Maka dari itu untuk
dapat melakukan proses pembangunan, tanah yang ada akan dipindahkan hak
kepemilikannya kepada seseorang yang berhak memilikinya. Dan berkenaan dengan
pengambilan tanah masyarakat yang akan dipakai untuk keperluan pembangunan dapat dilaksanakan
melalui proses pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak sesuai pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan pengadaan tanah ?
2.
Bagaimanakah
penentuaan ganti rugi atas tanah tersebut ?
3.
Apakah
yang menjadi kriteria dan macam kepentingan umum ?
4.
Bagaimanakah
upaya hukum terhadap masalah ini ?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa maksud dari diadakannya pengadaan tanah dalam suatu pembangunan.
2.
Untuk
mengetahui apa saja yang menjadi ganti rugi dalam pengadaan tanah.
3.
Untuk
lebih memahami apa saja pembangunan umum yang akan dilakukan.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana upaya hukum atas masalah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengadaan Tanah
Menurut Pasal 1 ayat 1 Keppres
No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas
tanah tersebut.
Menurut Pasal 1 ayat 3 Perpres
No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan
atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah tersebut. Sedangkan menurut Pasal 1
ayat 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah tersebut.[1]
Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum hanya berumur kurang dari setahun. Kemudian pada
tanggal 5 Juni 2006 diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang kemudian diperbarui dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut dalam UU No.2 Tahun
2012).[2]
B.
Panitia
Pengadaan Tanah
Dalam
Pasal 6 ayat 1 Keppres No. 55/1993 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
dengan bantuan Panitia Pengadaan
Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat 2 menyatakan
bahwa Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten Daerah Tingkat II. Sedangkan
untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi
wilayah dua atau lebih Kabupaten dapat dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Propinsi
yang
diketahui
atau
dibentuk
oleh
Gubernur
Kepala
Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Susunan Panitia Pengadaan Tanah Dalam Pasal 7 Keppres
No.55/1993, susunan panitia
pengadaan tanah terdiri dari :
1) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II
sebagai
Ketua
merangkap anggota.
2) Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap
anggota.
3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai anggota.
4) Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan, sebagai anggota.
5) Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian, sebagai anggota.
6) Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di mana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota.
7) Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana
rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota.
8)
Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala
Bagian Pemerintahan pada Kantor
Bupati Walikotamadya sebagai Sekretaris I bukan anggota.
9) Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai
Sekretaris II bukan anggota.
Sedangkan tugas
dari Panitia Pengadaan Tanah dalam
Pasal 8 Keppres No. 55 tahun 1993, yaitu:
1) Mengadakan penelitian dan
inventarisasi atas tanah,
yang berkaitannya dengan tanah dan hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
2) Mengadakan
penelitian
mengenai status hukum tanah
yang
hak
atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
3) Mengusulkan besarnya
ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau
diserahkan.
4) Memberikan
penjelasan atau penyuluhan kepada
pemegang hak atas
tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan
Instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan besarnya ganti
kerugian.
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian
kepada para pemegang hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas
tanah.
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
C.
Musyawarah
menentukan ganti rugi beserta bentuk ganti kerugiannya
Pelaksanaan pengadaan tanah melakukan
musyawarah dengan Pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak
hasil penilaian. Dari Penilaian tersebut, maka disampaikan kepada Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk
dan besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian. Dan
hasil kesepakatan dalam musyawarah tersebut akan menjadi dasar pemberian Ganti
Kerugian kepada Pihak yang Berhak atau berkuasa yang dimuat dalam berita acara
kesepakatan.
Dalam
hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya Ganti Kerugian,
Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat
dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti
Kerugian. Dan Pengadilan Negeri yang akan memutus bentuk dan besarnya Ganti
Kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan
keberatan.
Sedangkan
proses pemberian ganti rugi dalam kegiatan pengadaan tanah merupakan hal yang
sangat penting, karena tanpa ganti rugi pembangunan akan terhambat. Ganti
kerugian menurut UU No. 2 Tahun 2012 adalah penggantian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah, sehingga ada jaminan
yang diberikan terhadap kelangsungan hidup mereka yang tergusur. Sedangkan kerugian
yang bersifat non-fisik meliputi hilangnya
pekerjaan, bidang usaha, sumber penghasilan, dan sumber pendapatan lain yang
berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan seseorang.[3]
Menurut
Pasal 13 Keppres No. 55 tahun 1993 bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas
tanah yang tanahnya akan digunakan untuk pembanguan
bagi kepentingan umum, antara lain:
a) Uang.
b) Tanah
pengganti.
c) Pemukiman kembali.
d) Gabungan
dari
dua
atau
lebih
untuk
menggantikan
seluruh kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a,
huruf b dan huruf c.
e) Bentuk
lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan dalam
Pasal
14,
penggantian terhadap tanah yang
dikuasai
dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain
yang bemanfaat bagi masyarakat setempat.
Bentuk ganti rugi diserahkan langsung kepada seseorang
yang bersangkutan, yaitu:
1)
Pemegang hak atas tanah atau yang berhak sesuai dengan
peraturan perundang‑undangan.
2)
Nadzir bagi tanah wakaf.[4]
D. Kriteria
dan macam-macam kepentingan umum
Salah satu cara untuk pemenuhan
kebutuhan negara atas tanah dapat dilakukan melalui lembaga pengadaan tanah.
Hal ini dinyatakan bahwa negara mengambil hak privat atas tanah dari pemiliknya
dengan pelepasan hak secara sukarela dari pemiliknya dengan memberikan
kompensasi berupa ganti rugi yang diberikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam peraturan yang melandaskan
pengambil alihan tanah oleh negara, maka banyak istilah yang digunakan misalnya
fungsi sosial, kepentingan umum, dan kepentingan pembangunan. Dan istilah
tersebut banyak digunakan oleh sebagian orang untuk melegalkan pengambil alihan
tanah oleh pemerintah untuk memenuhi keperluan tanah guna untuk kegiatan suatu
investasi.[5]
Dan acara pelepasan hak atas tanah dapat digunakan untuk memperoleh tanah bagi
pelaksanaan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan
swasta. Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambilalihan tanah
kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas
tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau
lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.[6]
Kepentingan umum termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat setempat,
dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas
dasar asas-asas pembangunan Nasional dengan cara mengindahkan suatu ketahanan
Nasional serta Wawasan Nusantara.[7]
Dan dengan demikian ada beberapa proses pembangunan untuk kepentingan umum,
diantaranya:[8]
1)
Jalan umum, serta tempat pembuangan
air
2)
Waduk, bendungan dan bangunan
pengairan lainnya termasuk saluran irigasi
3)
Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat
Kesehatan Masyarakat
4)
Pelabuhan, Bandara ataupun Terminal
5)
Tempat Peribadatan
6)
Pendidikan atau sekolahan
7)
Pasar Umum atau Pasar INPRES
8)
Fasilitas Pemakaman Umum
9)
Fasilitas Keselamatan Umum seperti
tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar
10) Pos
dan Telekomunikasi
11) Stasiun
Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya
12) Fasilitas
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
E. Upaya
Hukum
Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah berlaku dalam Undang-undang
No. 20 Tahun 1961, dan kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui
PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan
diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Kepentingan Umum.[9]
Sedangkan pelaksanaan pengadaan tanah
dalam PMDN Nomor. 15 Tahun 1975 dalam pengadaan tanah dikenal istilah
pembebasan tanah, yang berarti melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat
diantara pemegang atau penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi.
Sedangkan didalam pasal 1 ayat 2 Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa:
“pelepasan atau penyerahan hak adalah
kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah
yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah”. Setelah
berlakunya Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 istilah tersebut berubah menjadi
pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah. Oleh sebab itu kedudukan Keppres
Nomor. 55 Tahun 1993 sama dengan PMDN Nomor. 15 Tahun 1975 sebagai dasar hukum
formal dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang pada waktu
berlakunya PMDN No. 15/1975 disebut pembebasan tanah. Namun seiring berjalannya
waktu Keppres No. 55/1993 kemudian digantikan dengan Peraturan baru dengan
tujuan mencari jalan untuk meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul
dalam implementasi pengadaan tanah menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan umum.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengadaan
Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 3
Perpres No.36 tahun 2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan
pencabutan hak atas tanah.
2. Untuk menentukan kerugian, maka
diadakan suatu kesepakatan dan hasil kesepakatan dalam musyawarah tersebut akan
menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak atau berkuasa
yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Dalam
hal proses ganti rugi maupun permukiman kembali harus diikuti dengan kegiatan
untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Bagi warga masyarakat
yang sebelumnya tanah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha,
bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset ini kerena mereka
dipindahkan ketempat pemukiman yang baru.
3. Dalam
peraturan yang melandaskan pengambil alihan tanah oleh negara, banyak istilah
yang digunakan misalnya fungsi sosial, kepentingan umum, dan kepentingan
pembangunan. Dan istilah tersebut banyak digunakan untuk melegalkan pengambil
alihan tanah oleh pemerintah untuk memenuhi keperluan tanah guna untuk kegiatan
suatu investasi yang ada dalam pemerintah.
4. Didalam
pasal 1 ayat 2 Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa: “pelepasan atau penyerahan hak adalah
kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah
yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah”.
Setelah berlakunya Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 istilah tersebut berubah
menjadi pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah. Oleh karena itu,
segi-segi hukum materiilnya pelaksanaan pelepasan hak atau pelepasan hak atas
tanah pada dasarnya sama dengan pembebasan tanah yaitu Hukum Perdata.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1991), Hal: 38
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria
Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Penerbit
Djambatan.
John Salindeho, Masalah Tanah dalam
Pembangunan, Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar Grafika,1988), Hal. 40.
Maria, S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementasi, (Edisi Revisi, 2007) hal: 103.
Oloan Sitorus, dkk. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta
: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
Salindeho,
John. 1988. Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua Jakarta : Sinar Grafika.
[1]. Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Penerbit Djambatan.
[2]. Oloan Sitorus, dkk. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
[3]. Maria, S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementasi, (Edisi Revisi, 2007) hal: 103.
[4]. Perpres, pasal: 16, ayat (1).
[5]. Gunanegara, op cit, hal:
75.
[6]. Effendi Perangin, Hukum
Agraria Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), Hal: 38
[7]. John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua
(Jakarta : Sinar Grafika,1988), Hal. 40.
[8]. Keppres No. 55/1993.
[9]. Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum, 2004.
1 comments:
Write commentsBola Tangkas merupakan permainan yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Permainan ini menggunakan alat mesin dan banyak peminatnya setiap waktu.
ReplyPermainan Bola Tangkas ini merupakan permainan yang menggunakan kartu POKER. Namun Anda jangan salah mengira bahwa permainan ini sama dengan permainan Poker Online.
Untuk permainan ini punya perbedaan sendiri, yaitu pada bagian cara penaruhan kartunya. Sedangkan di POKER ONLINE biasanya akan ditaruh di meja namun Bola Tangkas ditampilkan dilayar sebuah mesin SLOT.
Begitu banyak BONUS yang bisa Anda dapatkan dengan cara memainkan permainan ini :
- Royal Flush
- 5 Of A Kind
- Straight Flush
- 4 Of A Kind
- Full House
- Straight
- Flush
- 3 Of A Kind
- 2 Pair
- Ace Pair
Dengan minimal Deposit Rp 50.000 saja sudah dapat memainkan permainan BOLA TANGKAS di BOLAVITA.
Bolavita juga bekerja sama dengan Bank ternama Indonesia. Guna mempermudah Anda untuk bertransaksi.
Yuk gabung sekarang dan jadilah Pemenang Jackpot di BOLAVITA !!
Hubungi kami di sini :
WA / TELEGRAM : +628122222995
#Bolavita #bolavitajackpot #bolatangkas #tangkasnet #betting #bettingonline #situsjuditerpercaya #agenjuditerpercaya #livestreaming #taruhanonline #pokerindonesia #tangkasindonesia
EmoticonEmoticon