Thaharah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk
memasuki ibadah shalat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka.
artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah,
tidak sah.
Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat, maka
setiap muslim yang akan melakukan shalat tidak saja harus mengerti thaharah
melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga
thaharahnya itu sendiri terhitung sah menurut ajaran ibadah syar’iah.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian thaharah ?
- Tujuan thaharah ?
- Pembagian thaharah?
- Alat-alat yang digunakan untuk berthaharah?
- Klafikasi air dan penggunaanya dalam bersuci ?
C. Tujuan
- Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peribadatan Islam
- Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai thaharah
- Untuk memahami cara-cara bersuci yang dikehendaki oleh syari’at islam dan mempraktekkannya dalam menjalani ibadah sehari-hari.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut
istilah syara’ thaharah adalah bersih dari hadas dan najis. Selain itu
thaharah dapat juga diartikan mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat,
berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis.[1]
Atau thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan
dimana tidak sah melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau
mensucikan diri dari hadas dan najis dengan air.[2]
Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat.
Cara menghilangkannya harus dicuci dengan airsuci dan mensucikan.
B. TUJUAN THAHARAH
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya
thaharah, diantaranya:
1. Guna menyucikan diri dari kotoran
berupa hadats dan najis.
2. Sebagai syarat sahnya shalat dan
ibadah seorang hamba.
Nabi Saw bersabda:
“Allah tidak menerima shalat seorang diantara
kalian jika ia berhadas, sampai ia wudhu”, karena termasuk yang disukari Allah,
bahwasanya Allah SWT memuji orang-orang yang bersuci : firman-Nya, yang artinya
: “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan
dirinya”.(Al-Baqarah:222)
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai
pemelihara serta pembersih diri dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang
mengganggu dalam aktifitas ibadah seorang hamba.
Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan
memiliki keutamaan-keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah di akhirat nanti.
Thaharah juga membantu seorang hamba untuk mempersiapakan diri sebelum
melakukan ibadah-ibadah kepada Alloh.
Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia sedang
menghadap kepada Alloh, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba bisa siap
untuk beribadah dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka
diwajibkanlah wudhu sebelum sholat karena wudhu adalah sarana untuk menenangkan
dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan
sholat.
C. PEMBAGIAN THAHARAH
Kita bisa membagi thaharah secara
umum menjadi dua macam pembagian yang besar yaitu: Taharah Hakiki dan Taharah
Hukmi.
1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait
dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh
dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari
najis. Seseorang yang shalat yang memakai pakaian yang ada noda darah atau air
kencing tidak sah shalatnya. Karena ia tidak terbebas dari ketidak sucian
secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan
najis yang menempel baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan
ibaadah ritual, caranya bermacam-macam tergantuk level kenajisannya.bila najis
itu ringan cukup dengan memercikan air saja, maka najis itu dianggap sudah
lenyap, bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya
dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara, mencusikanya
dengan air biasa hingga hilang warna najisnya, dan juga hilang bau najisnya dan
hilang rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi.
Thaharah
secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak
ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan
ibadah ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan cara wudhu atau mandi
janabah.
Contoh: seseorang yang tidak batal wudhunya, boleh jadi
secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah
ulang dengan cara berwudhu, bila ia ingin melakukan ibadah tertentu seperti
shalat, thawaf dan lain-lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah
membersihkannya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru,
dia tetap belum dikatakan suci dari hadas besar hingga selesai dari mandi
janabah.
D. ALAT-ALAT YANG DIGUNAKAN UNTUK BERTHAHARAH
Alat-alat
untuk bersuci ada bermacam-macam tergantung pada situasi dan kondisi tertentu,
diantaranya dengan menggunakan : air, debu atau tanah, dan batu. Tetapi alat
bersuci yang paling utama adalah air karena memiliki daya untuk membersihkan
dan mensucikan dalam semua keadaan.
E. KLASIFIKASI AIR DAN PENGGUNAANYA
DALAM BERSUCI
1. Air mutlak (air yang suci lagi
mensucikan)
Yakni air yang keberadaanya suci dan dapat dipakai untuk
bersuci serta dapat mensucikan benda-benda lainnya. Tidak boleh dan tidak sah
mengangkat hadas dan menghilangkan najis melainkan dengan air mutlak. Air mutlak itu ada 7 jenis, yaitu:
1)
Air hujan
2)
Air laut
3)
Air sungai
4)
Air sumur
5)
Air yang bersumber (dari mata air)
6)
Air es
7)
Air embun.
Ketahuilah tidak sah berwudu dengan fardhu, mandi wajib,
mandi sunnat, menghilangkan najis dengan benda cair seperti cuka atau benda
beku lainnya seperti tanah dalam bertayamum ..
Air mutlak mempunyai tiga sifat , yaitu :
1) Tha’mun (Rasa)
2) Launun (Warna)
3) Rihun (Bau)
Dan kalau dikatakan air itu berubah maka yang dimaksudkan
ialah berubah sifatnya, air mutlak itu terkadang berubah rasanya, warnanya,
atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang masuk kedalam air itu
kadang-kadang mukhlath dan kadang-kadang mujawir, Menurut istilah, para ulama
berbeda pendapat sebagian mereka mengatakan “Al-mukhtalat itu ada yang tidak
dapat diceraikan dari air”.
Dan sebagian lagi mengatakan “Al-Mukhtalat itu barang yang
tidak dapat dibedakan air menurut pandangan mata”.
Kalau air berubah dengan sesuatu benda yang mujawir yang,
cendana, minyak bunga-bungaan, kapur barus yang keras, maka air itu masih
dianggap suci yang dapat dipakai untuk ber bercuci, sekalipun banyak
perubahannya. Karena perubahan yang sesuatu mujawir itu, ia akan menguap jua.
Karena itu air yang seperti ini dinamakan air yang mutlak, ban dingannya
air yang berubah karena diasapkan dengan dupa atau berubaah baunya karena
berdekatan dengan bangkai. Maka air yang seperti ini masih dianggap air
yang suci dan dapt dipergunakan untuk bersuci, baik berubah sifatnya.[3]
2. Air suci tidak mensucikan
Yakni air suci yang tidak bias dipakai untuk bersuci dan
tidak pula mensucikan, yang termasuk dalam bagian ini ada 3 macam air yaitu :
Ø Air
musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau mencuci
najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis,
kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya. Jadi airnya suci.
Ø Air
yang berubah salah satu sifatnya sebab bercampur dengan benda-benda suci
lainnya (seperti teh, kopi, dan sirup).[4]
Misalnya juga dengan sabun, tepung, dan lain-lain yang biasanya terpisah dengan
air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakan nya masih terpelihara, jika
sudah tidak, hingga tidak dapat lagi dikatakan mutlak maka hukumnya ialah suci
pada dirinya sendiri, tidak menyucikan bagi lainnya.[5]
Ø Air
pohon-pohonan atau air buah-buahan seperti air yang keluar dari tekukan pohon
kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.[6]
3. Air yang makruh
Yakni air yang
terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana perak atau emas. Air ini
makruh untuk badan tetapi tidak makruh untuk pakaian;kecuali air yang terjemur
ditanah, seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana yang
mungkin berkarat. Seperti sabda Rasulullah Saw: Dari Aisyah. Sesungguhnya ia
telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka Rasulullah Saw. Berkata
kepadanya, “Janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang
dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (Riwayat Baihaqi).[7]
Air yang makruh memakainya menurut hukum syara’ atau juga
dinamakan kahariyatut tanzih.
4. Air yang terkena najis
Air najis adalah air yang kemasukan benda najis dan air itu
kurang dua kolah, atau air itu ada dua kolah (216 Liter) tetapi berubah.[8]
Maksudnya air yang kemasukan benda najis didalamnya, andai kata air tersebut
hanya tertulari bau busuk dari najis yang dibuang dipinggirnya maka air yang
demikian ini tidak najis, sebab tidak bertemu langsung dengan najisnya. Dan
yang dimaksud dengan berubah andai kata air yang banyak tersebut tidak berubah
dengan adanya najis atau najisnya hanya sedikit dan hancur dalam air maka air
yang demikian ini juga tidak najis. Dan seluruh air itu boleh digunakan menurut
mazhab yang shahih.[9]
KESIMPULAN
Thaharah merupakan salah satu ibadah
yang disyariatkan oleh Allah kepada hambanya sebelum melakukan ibadah. Thaharah
hanya dilakukan dengan sesuatu yang suci dan dapat menyucikan. Thaharah juga
menunjukan bahwa sesungguhnya islam sangat menghargai kesucian dan kebersihan
sehingga diwajibkan kepada setiap muslim untuk senantiasa menjaga kesucian
dirinya, pakaian, serta lingkungannya. Fungsi thaharah adalah untuk mensucikan
diri dari najis dan hadast.
Hal ini karena thaharah merupakan
syarat untuk sahnya sholat yang dilakukan lima kali sehari. Sedangkan alat yang
dapat digunakan untuk bersuci ada bermacam-macam tetapi yang paling utama
adalah air dan air dikelompokkan menjadi beberapa macam. Seperti, air suci yang
mensucikan, air yang makruh, air suci yang tidak mensucikan , dan air najis.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Imam Taqiyuddin, Bin
Muhammad Alhusaini , Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina Imam, 2003.
Al-Gazzi Ibnu Qosim, Hasiyah
Asy-Syekh Ibrahim Al-Baijuuri, Baerut: Dar Al-Fikr, 2005.
Anwar Moch, Fiqih Islam
Tarjamah Matan Taqrib, Bandung: PT Alma’arif, 1987.
H. Muqarrabin. Fiqih Awam, Demak: Cv. Media Ilmu, 1997.
Muhammad Arsyad Al-Banjari Syekh, Sabilal
Muhtadin, (Surabaya: PT Bina Ilmu)
Mushtafa, Abid Bishri, Tarjamah
Shahih Muslim, Semarang: CV Asy-Syifa, 1993
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012.
[5] Said Sabiq, fiqh Sunnah 1, (Bandung: PT Alma’arif, 1973) juz
1
[8] Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Alhusaini , Kifayatul
Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 2003) Juz 1,Hal 19.
[9] Imam Taqiyuddin Abu bakar Bin Muhammad Alhusaini, ibid, Hal
21.
EmoticonEmoticon