Pemikiran
Fisafat Baruch
de Spinoza
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Baruch de
Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) (Bahasa Ibrani) adalah filsuf keturunan
Yahudi-Portugis berbahasa Spanyol yang lahir dan besar di Belanda Pikiran
Spinoza berakar dalam tradisi Yudaisme Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah
ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam Hal ini ia katakan karena
baginya Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk
yaitu seluruh alam jasmaniah. Oleh karena pemikirannya ini, Spinoza pun disebut
sebagai penganut, panteisme-monistik.
Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24
November 1632 Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya. Di masa kecilnya,
Spinoza telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan
bahwa ia bisa menjadi seorang rabbi, Dalam kehidupannya, ia tidak hanya belajar
matematika dan ilmu-ilmu alam, ia juga mempelajari bahasa Latin, Yunani,
Belanda, Spanyol, Perancis, Yahudi, Jerman, dan Italia Pada usianya yang ke 18
tahun, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia meragukan Kitab Suci
sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan
bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara
personal dalam sejarah manusia.
Sikap yang ditunjukkan Spinoza kepada orang Yahudi, membuat
para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap. Para tokoh agama Yahudi pada
saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran Spinoza. Para tokoh agama
ini terus menerus memaksa agar Spinoza kembali lagi pada ortodoksi agama, namun
hal ini tidak pernah berhasil. Akhirnya pada tahun 1656, Spinoza dikucilkan
dari Sinagoga Tidak hanya kelompok Yahudi yang mengucilkan Spinoza, keluarganya
pun turut mengucilkan dirinya. Meskipun demikian, Spinoza tetap tenang
mengatasi masalah hidupnya, Hingga Akhirnya ia mengganti nama dirinya dengan
Benedictus de Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya.
Dalam keadaan yang telah dikucilkan, Spinoza mencari nafkah
dengan cara mengasah lensa sambil terus menerus menuliskan
pemikiran-pemikirannya. Tidak lama setelah pengucilan ini,
Spinoza mengidap penyakit TBC.
Pada tahun 1673, dia diundang untuk mengajar di universitas
Heidelberg namun ia menolaknya. Alasan Spinoza menolak undangan ini dikarenakan
baginya tidak ada yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang
dihukum mati karena berpikir bebas. Semasa hidupnya, Spinoza juga bekerja
sebagai guru pribadi pada beberapa keluarga kaya dan dari sinilah Spinoza
bertemu dengan tokoh-tokoh partai politik Belanda saat itu, antara lain Jan de
Witt Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1677 Spinoza meninggal pada usia 44
tahun karena penyakit TBC paru-paru yang telah lama ia derita.
Halaman
Pembuka dari salah satu, karya Spinoza magnum opus, Ethics
- Renati Descartes Principiorum Philosophiae, 1663 (Prinsip Filsafat Descartes)
- Tractatus Theologico-Politicus, 1670 (Traktat Politis-Teologis)
- Tractatus de intellectus emendatione, 1677 (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman)
- Ethica more geometrico demonstrata, 1677 (Etika yang dibuktikan secara geometris)
Melalui bukunya Tractatus theologico-politicus
Spinoza mengemukakan pemikirannya tentang interpretasi bebas Kitab Injil.
Sementara dalam buku Tractatus-politicus beliau menulis tentang
demokrasi dan pentingnya kebebasan berpendapat.Buku Ethica (judul
lengkapnya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata) yang merupakan karya utamanya,
ditulis dengan maksud untuk membantu mengurangi penderitaan orang-orang yang
menganut suatu keyakinan. Karya ini bukan semata-mata karya filosofi melainkan
memiliki tujuan praktis : untuk mengajari pembacanya bahwa Tuhan merupakan
bagian dari Penciptaan, bahwa semua hal yang eksis merupakan manifestasi dari
Tuhan – termasuk umat manusia. Agar seseorang mampu memahami hal ini sangat
penting untuk bersikap mandiri dan bebas dari seluruh fanatisme yang
membelenggu. Spinoza membuktikan keyakinan tersebut dalam kehidupannya :
argumen-argumennya selalu disampaikan dengan tenang, dipertimbangkan dengan
matang dan masuk akal. Beliau bahkan tidak membiarkan dirinya terprovokasi.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gagasan filsafat yang dikemukakan oleh Spinoza?
2. Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat Spinoza pada Era berikutnya?
1. Bagaimanakah gagasan filsafat yang dikemukakan oleh Spinoza?
2. Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat Spinoza pada Era berikutnya?
PEMBAHASAN
Pemikiran Baruch De Spinoza
Pandangan Spinoza mengenai substansi tunggal merupakan
tanggapannya atas pemikiran Descartes tentang masalah substansi dan hubungan
antara jiwa dan tubuh. Dalam filsafat Descartes, terdapat sebuah permasalahan
yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia material dapat dipikirkan sebagai satu
kesatuan utuh? Dalam bukunya Ethica, ordine geometrico demonstrata
(Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), Spinoza mencoba menjawab
permasalahan ini. Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes dengan memberikan sebuah
pengertian mengenai substansi.[1]
Substansi dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya
sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya
tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya. Menurut Spinoza, sifat
substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi Spinoza,
hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah. Menurut Spinoza,
sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi
Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah Hanya
Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh.
Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah
satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari pada
Allah. Hal ini berarti semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat
jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang) maupun yang bersifat
rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri
melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah. Untuk menyebut gejala
ini, Spinoza menggunakan sebuah istilah yaitu modi, Modi
merupakan bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran.
Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat
dalam alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal.
Dengan kata lain, alam dan segala isinya adalah identik dengan Allah secara
prinsipil.
Kata kunci ajaran Spinoza adalah Deus sive natur
(Allah atau alam). Yang berbeda dari ajaran ini hanyalah istilah dan sudut
pandangnya saja. Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang
melahirkan). natura naturans dipandang sebagai asal-usul, sebagai sumber
pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali. Sebagai dirinya sendiri, alam
adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk
alam dan Allah yang sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam
yang kelihatan. Dengan ini Spinoza membantah ajaran [Descartes] bahwa realitas
seluruhnya terdiri dari tiga substansi (Allah, jiwa, materi). Bagi Spinoza
hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam.
A. Tentang Tuhan
Kesatuan antara Allah dan alam
semesta untuk pertama kali diberi rumusan secara moderen. Substansi ini
memiliki sebabnya dalam dirinya sendiri. Hakekat (esentia)-nya mencakup juga
keberadaan (exsistentia)-nya. Hakekatnya di tentukan oleh atribut-attribut atau
sifat-sifat asasinya yang tiada batasnya. Tiap sifat asasi dengan cara yang
sempurna mengungkapkan hakekat esensinya yang kekal dan tak terbatas itu. Akan
tetapi segala hal yang kongkrit, yaitu dunia yang beraneka raga ini, adalah
modi atau cara berada substansi yang satu itu.
Demikian lah pengertian tentang
Allah yang di ajarkan Spinoza tidak sama dengan yang di ajarkan Descartes. Bagi
Descartes Allah adalah suatu pribadi yang menciptakan dunia, akan tetapi bagi
Spinoza Allah adalah suatu kesatuan umum, yang mengungkapkan diri di dalam
dunia. Segala yang ada adalah Allah, tiada sesuatu pun yang tidak tercakup di
dalam Allah dan tiada sesuatupun yang dapat berada tanpa Allah.[2]
Sekalipun hakekat Allah di tentukan
oleh siffat-sifat asasinya yang tiada batasnya, namun manusia yang terbatas Ini
hanya dapat mengenal dua sifat asasi Allah, yaitu: pemikiran dan keluasan.
Segala realitas yang konkrit adalah modi atau cara berada Allah, menampakkan
diri dalam bentuk rangkap, yaitu: dalam corak pikiran yang individual dan dalam
corak keluasan yang individual, yang masing-masing hanya mewujudkan realitas
yang tidak lengkap saja.
Hal-hal bendawi adalah cara berada
Allah dibawah sifat asasi keluasan, atau cara berada Allah di dalam ruang. Dan
hal-hal bendawi itu sesuai dengan idea-ideanya yang berada dibawah sifat asasi
pemikiran, atau dapat juga disebut: cara berada Allah dalam keluasan dan cara
beradanya dalam pemikiran, adalah sama. Keduanya hanya dibedakan dalam
pengenalan. Pengertian subyektif dan obyektif
adalah sama, atau pikiran dan keberadaan adalah sama.
B. Tentang Humanisme
Spinoza membedakan antara manusia
dan mahluk-mahluk lainnya bahwa: tubuh manusia lebih ruwet daripada tubuh
mahluk-mahluk lainnya. Tubuh manusia adalah alat jiwa manusia untuk
mengungkapkan diri dalam banyak idea. Tiada pengaruh timbale balik dalam arti
sebenernya di antara tubuh dan jiwa.[3]
Gejala-gejala yang nampak sama pada
keduanya sebenarnya hanya pengungkapan- pengungkapan yang bermacam-macam dari
satu kenyataan. Jajaran proses-proses tubuhi dan proses jiwani adalah dua aspek
dari kejadian yang sama. Kesadaran “adanya sesuatu” dan “sesuatu yang ada” itu
sendiri adalah dua sisi dari hal yang sama. Proses tubuhi dan ji.wani berjalan
sejajar.
Di dalam manusia juga tiada “aku”
yang tetap. Jiwa tidak lain adalah suatu arus kejadian-kejadin jiwani (psikis)
suatu rentetan pengkhususan-pengkhususan pemikiran Allah atau pemikiran tentang
isi tertentu yang di lakukan Allah.
Idea-idea yang jelas dan
terpilah-pilah yang terdapat dalam jiwa manusia adalah idea-idea Allah.
Idea-idea itu pasti secara sempurna dan pada dirinya menjadi jaminan kepastian.
Idea-idea itu adalah sama dengan realitas diluar, karna sifatnya yang jelas dan
terpilah-pilah. Jikalau terdapat hal-hal tidak benardan menyesatkan, hal itu di
sebab kan karna idea-idea yang telah didukungkan yang tidak lagi mengandung
pengetahuan yang benar.
Kehendak manusia pada hakekatnya
adalah sama dengan pikirannya. Menghendaki adalah perbuatan akal semata-mata.
Dengan kehendaknya itu manusia berusaha merealisasikan hakekatnya atau
esensinya sendiri, yaitu hakekatnya seperti yang ada pada Allah sebagai idea.
Menghendaki adalah merealisasikan diri, yang dilaksanakan dengan melalui
pikiran. Itulah sebabnya maka kehendak dan pikiran pada hakekatnya adalah satu.[4]
Oleh karna itu juga tiada kebebasan
kehendak, Artinya : manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih salah satu
dari dua kemungkinan. Juga tiada “ aku “ yang tetap. Yang ada adalah suatu
rentetan perbuatan kehendak, yang sama-sama dengan segala kejadian dunia sama
sekali telah di tentukan oleh keharusan batiniah yang mutlak dan oleh hakekat
Allah.
Jiwa tidak lain adalah suatu arus
kejadian psikis, suatu rentetan pengkhususan-pengkhususan pemikiran Allah, atau
pemikiran tentang isi tertentu yang di lakukan Allah. Kehendak terikat kepada imaginasi.
Kita hanya mengira, bahwa kita bebas dalam kehendak kita. Di dalam imaginasi
itu kita di pimpin oleh kesan-kesan, gambaran-gambaran ingatan dan
pengertian-pengertian abstrak. Kebebasan manusia terletak disini, bahwa ia,
berbeda dengan mahluk- mahluk lainnya, sadar bahwa ia mendapat bagian dari
keharusan mutlak Allah.
C. Tentang Kebenaran
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya
mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan
nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran,
bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam
kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.[5]
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia
sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah
kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu.
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut Spinoza
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya, ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada
pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.
Pengaruh Pikiran Pada Era Berikutnya
Tidak dapat disangkal, bahwa dalam perjalanan di sepanjang
abad filsafat barat telah melahirkan
pemikiran-pemikiran yang bermacam-macam sekali, yang menadakan penelitian filsafati
yang mengarah ke banyak jurusan.[6]
Seperti Baruch Spinoza yang pemikirannya renaissance mencapai
penyempurnaan pada dirinya, yang kemudian tercapailah kedewasaan pemikiran yang
dipandang sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat
dipakai manusia yaitu akal dan pengalaman. Dalam arti ajaran Spinoza dapat di
pandang sebagai suatu mistik filsafati, yang mengajarkan tentang nisbah antara
manusia dan Allah sebagai tokoh yang tiada batasnya.
Namun harus di akui, bahwa bagaimanapun filsafat barat telah
membantu terbentuknya kebudayaan barat. Filsafat memperlihatkan kepada kita apa
yang hidup dalam diri manusia yang telah menjadi dasar. Filsafat menjelaskan
kepada kita apa yang di cari orang pada zaman tertentu, apa yang hidup dan
bergerak di dalam bagian yang terdalam hidup manusia pada suatu zaman. Ternyata
bahwa setiap zaman memiliki filsafat nya sendiri, yang berusaha menurut keyakinan
masing-masing untuk memperbaiki hidup manusia.
Analisa
Untuk memahami Substansi yang disodorkan oleh Descartes
kepada Spinoza, penulis berpendapat
bahwa Substansi itu adalah merupakan sesuatu yang ada dalam diri kita sendiri
atau sesuatu yang tidak membutuhkan aspek lain untuk membentuk diri kita
menjadi ada. Jadi, kita itu berdiri sendiri dan membentuk diri kita sendiri.
Itulah yang disebut sebagai causa prima non causata.
Oleh karena itu, dalam tatanan ada (Primum Ontologicum), Substansi
itu disebut sebagai yang pertama dan yang asali. Sedangkan dalam sistem
kelogisan (Primum Logicum), Substansi merupakan realitas yang pertama
dan yang Absolut. Dari sini dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa dalam
pandangan Spinoza hanya ada satu Substansi dan Substansi itu adalah itu” Dia
yang Tak Terhingga atau Allah.
Konsep
metafisika Spinoza terhadap Substansi sebagai realitas Yang Absolut, mau
memperlihatkan dengan jelas obyek penjelajahan refleksi metafisika terhadap
realitas. Ada yang paling tinggi dan sempurna, yaitu refleksi tentang Allah
sebagai realitas yang Absolut, murni, tunggal dan sempurna.
Menurut
Spinoza, yang disebut substansi adalah apa yang dapat dipahami, tanpa perlu
memahami sesuatu yang lain.Hanya satu yang memenuhi definisi ini,jadi yang
dapat dipikirkan tanpa perlu memikirkan apapapun lagi,yaitu ALLAH. Karena itu,
kita harus bertolak dari Allah. Kita juga sudah mendapatkan dalil fundamental
metafisika Spinoza: HANYA ADA SATU SUBSTANSI SAJA, YAITU ALLAH. Menurut
Spinoza,Allah adalah segala-galanya,tak terpisah,sedemikian rupa hingga antara
Allah dan alam,tidak mungkin diadakan pemisahan sedikit pun. Maka, Spinoza pun
memutlakkan imanensi dan menyangkal transendensi.Atas pandangannya itu,maka
Spinoza menolak dirinya dicap sebagai Ateis.Ia merasa lebih tepat disebut
penganut PANTEISME, yang, MONISTIK.
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Salah
satu gagasan yang diajukan oleh Spinoza dalam memahami realitas Yang absolut
adalah Substansi Tak Terhingga atau Allah.
Gagasan-gagasan Spinoza dalam mengungkap realitas yang Absolut ini, ia banyak
dipengaruhi oleh rasionalisme Descartes. Namun, pengaruh Descartes yang telah
membentuk pola pemikirannya, tidak semuanya diamini dengan baik oleh Spinoza
terutama dalam memahami Substansi sebagai realitas murni yang Absolut. Dalam
memahami Substansi, Descartes melihat bahwa Substansi itu merupakan suatu
realitas yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain.
Dengan kata lain, Descartes melihat Allah sebagai Substansi yang tidak membutuhkan
yang lain untuk berada. Tetapi, disamping Substansi sebagai realitas Absolut,
Descartes menerima substansi yang lain kendatipun substansi yang dimaksud tidak
berlaku secara Absolut melainkan relatif.
Berkaitan
dengan Substansi yang diajukan oleh Descartes, Spinoza melihat bahwa Descartes
tidak memiliki sebuah komitment yang akurat untuk mendefinisikan Substansi itu
sendiri, karena dalam kenyataannya Descartes masih menerima adanya Substansi
yang lain. Di sinilah Spinoza tidak setuju dengan gagasan yang disodorkan oleh
Descartes. Tetapi, di sisi lain, Spinoza menerima gagasan yang disodorkan oleh
Descartes yang mengatakan bahwa Substansi itu adalah sesuatu yang tidak
membutuhkan yang lain, artinya bahwa Substansi itu adalah suatu realitas yang
mandiri, otonom, utuh, satu dan tunggal.
Tetapi,
selain Allah sebagai Substansi. Spinoza juga melihat Alam sebagai substansi.
Dengan kata lain, dalam pandangan Spinoza Allah atau Alam adalah merupakan
suatu kenyataan tunggal yang memiliki satu kesatuan. Pemahaman ini berangkat
dari suatu pemahaman terhadap pembedaan antara Substansi yang oleh Spinoza
disebut sebagai atribut-atribut dan modi. Modi adalah cara berada
dari atribut-atribut dan secara tidak langsung adalah dari Substansi.
Memang benar bahwa Spinoza mengakui hanya ada satu Substansi, tetapi di dalam
substansi itu terkandung atribut-atribut (sifat hakiki) yang tak
terhingga jumlahnya.
Namun, dari
sekian banyak sifat hakiki itu hanya ada dua yang dapat diketahui oleh manusia,
yaitu keluasan dan pemikiran (extensio dan cogitatio). Dalam hal ini, Spinoza melihat Allah
sebagai keluasan (Deus est res extensa) dan pemikiran (Deus est res
cogitans). Keluasan dan pemikiran merupakan dua hal
yang memiliki substansi yang sama. Spinoza menggagas ini dalam ajarannya
tentang Substansi tunggal yaitu Allah atau Alam (Deus Sive Natua).
Menurut
Spinoza, realitas Yang Absolut itu memiliki sifat yang abadi, tak terbatas, dan
tunggal. Maka, dari pemahaman seperti ini Spinoza melihat bahwa karena Allah
adalah satu-satunya Substansi, maka segala sesuatu yang ada di bumi atau alam
ini adalah berasal dari Allah. Di sinilah Spinoza terus menerus tenggelam dalam
suatu refleksi tentang hubungan antara Allah dan manusia sebagai satu kesatuan.
Maka, untuk sampai kepada Allah, Spinoza mengatakan bahwa perlu ada cinta.
Cinta merupakan suatu bentuk pengenalan tertinggi terhadap Tuhan. Melalui
cinta, ia melihat bahwa kita dapat menerima segala sesuatu yang ada di alam,
dan dengan demikian manusia menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan sebagai
realitas Yang absolut. Berawal dari sinilah Spinoza disebut sebagai filsuf yang
tenggelam dalam Tuhan.
2. Tidak
dapat disangkal, bahwa dalam perjalanan di sepanjang abad filsafat barat telah melahirkan
pemikiran-pemikiran yang bermacam-macam sekali, yang menadakan penelitian filsafati
yang mengarah ke banyak jurusan. Seperti Baruch Spinoza yang
pemikirannya renaissance mencapai penyempurnaan pada dirinya, yang kemudian
tercapailah kedewasaan pemikiran yang dipandang sebagai sumber pengetahuan
hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal dan pengalaman.
Namun harus di
akui, bahwa bagaimanapun filsafat barat telah membantu terbentuknya kebudayaan
barat. Filsafat memperlihatkan kepada kita apa yang hidup dalam diri manusia
yang telah menjadi dasar. Filsafat menjelaskan kepada kita apa yang di cari
orang pada zaman tertentu, apa yang hidup dan bergerak di dalam bagian yang
terdalam hidup manusia pada suatu zaman. Ternyata bahwa setiap zaman memiliki
filsafat nya sendiri, yang berusaha menurut keyakinan masing-masing untuk
memperbaiki hidup manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Ariew,
R. Watkins, E. Modern filsafat. Spinoza, B, Etika (1677) (Hackett
Publishing Company inc. 1998)
Bakker,
Anton, Ontologi Metafisika Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bertens,
K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
——Filsafat
Barat Abad XX, Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1985
Bertens,
K. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988.
Budi
Hardiman, F. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.
Dr.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat
Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamersma,
Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984.
Petrus
L. Tjahjadi, Simon, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Riyanto,
Armada, Metafisika (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2004.
——-Pengantar
Filsafat (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2002.
Sumantri
Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Syam,
Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila.Surabaya: Usaha Nasional
EmoticonEmoticon