Update

Anggaran Dasar Koperasi Dan Keanggotaan Koperasi Di Indonesia

Anggaran Dasar Koperasi Dan Keanggotaan Koperasi Di Indonesia PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Koperasi adalah suatu kumpulan...

Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam

May 15, 2017


Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syari’at.
Adapun tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari “ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat perbuatan-perbutan yang tidak semestinya dilakukan. Contohnya seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, dll. Yang dapat merugikan orang banyak. Dari uraian tersebut terlihat bahwa manusia pada zaman sekarang ahklak dan moralnya kurang terdidik. Perbuatan-perbuatan seperti itu akan merugikan diri sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Hukuman-hukuman yang pantas untuk orang-orang tersebut haruslah yang bisa membuat dia jera dan tidak mau mengulangi kesalahan-kesalah yang diperbuatnya.
1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1.2.1   Apa pengertian dari hukuman?
1.2.2   Apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut Hukum Pidana Islam?
1.3    Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1.3.1   Untuk mengetahui apa pengertian dari hukuman?
1.3.2   Untuk mengetahui apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut Hukum Pidana Islam?




BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian dan Dasar Hukuman
Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.
A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Menurut Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut, Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.
Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.[1]
Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial. Bagi Allah sendiri tidaklah akan memadharatkan kepada-Nya apabila manusia di muka bumi ini melakukan kejahatan dan tidak akan memberi manfaat kepada Allah apabila manusia di muka bumi taat kepada-Nya.
Hukum itu harus mempunyai dasar, baik dari al-Qur’an, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman itu harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa: “Seseorang tidak menanggung dosanya orang lain”.
Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum; maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama dihadapan hukum.
2.2    Tujuan dan Macam-macam Hukuman
2.2.1   Tujuan Hukuman
Hukuman diterapkan meskipun tidak disenangi demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian, hukuman yang baik adalah:
a.      Harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut ibn Hammam dalam Fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).[2]
b.   Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat menghendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan.[3]
c.   Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang memberi pelajaran kepada anaknya, dan seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya.[4]
d.       Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang manusia akan terjaga dari berbuat jahat apabila:
1)  Memiliki iman yang kokoh seperti dinyatakan dalam hadits Nabi: “Seseorang tidak akan melakukan zina ketika ia beriman”. (HR. Muslim)
2)  Berakhlak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan terhadap orang lain, atau merasa malu bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.
3) Dengan adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga seseorang dari terjatuh ke dalam tindak pidana.[5] Disamping itu harus diusahakan menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz al-dzariah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan).
2.2.2   Macam-macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidananya.
a)   Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua:
1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
2. Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, dan melanggar aturan lalu-lintas.
b)    Ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat:
1. Hukuman pokok (al-‘uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
2. Hukuman pengganti (al-‘uqubat al-badaliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti hukuman diyat/denda bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan qishashnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.
3. Hukuman tambahan (al-‘uqubat al-taba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
4. Hukuman pelengkap (al-‘uqubat al-takmiliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan hakim tersendiri. Sedangkan hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan hakim tersendiri.
c)       Ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua:
1)  Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, di mana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had.
2)  Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus-kasus maksiat yang diancam dengan ta’zir.
d)        Ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat:
1. Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.
2. Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman mati.
3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan.
4. Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda, dan perampasan.
2.2.3   Gabungan Hukuman
Para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman, Imam Malik, misalnya, mengenal teori al-takakhul, yaitu apabila seseorang melakukan jarimah qadzaf dan minum khamr. Sesudah itu, tertangkap. Menurut teori ini, hukumannya cukup satu, yaitu delapan puluh kali jilid. Alasannya, karena jenis dan tujuannya sama. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad, hukuman mati itu menyerap semua jenis hukuman. Demikian pula jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami dulu, baru hukuman yang berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafi’i, setiap jarimah tidak dapat digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukuman satu per satu.[6]
2.2.4   Pelaksanaan Hukuman
Yang melaksanakan hukuman adalah petugas yang ditunjuk oleh imam untuk melaksanakan hal itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk hukuman qishash dapat dilakukan sendiri (keluarga korban) dengan pengawasan imam. Akan tetapi, menurut sebagian ulama yang lain pelaksanaan qishash juga diserahkan kepada petugas yang berpengalaman, sehingga tidak melampaui batas yang telah ditentukan.
Adapun alat untuk melaksanakan hukuman mati menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad harus menggunakan pedang, berdasarkan hadits: “Tidak ada qishash (hukuman mati) kecuali dengan pedang” (HR al-Bazar dan ibn ‘Adi dari Abu Bukrah).
Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan sebagian ulama Hanabilah alat untuk melaksanakan qishash harus dengan alat yang sama dengan alat yang digunakan untuk membunuh korban. Allah berfirman: Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukuman qishash. Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (QS al-Baqarah: 194).
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang terbaik bagi orang-orang yang bersabar (QS al-Nahl: 126).
Para ulama hukum Islam terkemuka dewasa ini membolehkan penggunaan alat selain pedang. Asal lebih cepat mematikan dan lebih meringankan penderitaan terhukum, misalnya dengan menggunakan kursi listrik.[7]
Hal ini didasarkan pada hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan kepada segala sesuatu. Oleh karena itu apabila kamu membunuh (memberi hukuman mati), maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan apabila kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kamu mempertajam mata pedangnya dan meringankan penderitaan binatang yang disembelihnya (HR Muslim dari Saddad bin’Aks).
2.3    Syubhat dan Hal-hal Yang Dapat Mempengaruhi Hukuman
Hukuman hapus apabila:[8]
2.3.1 Pelaku meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan harta.
2.3.2 Hilangnya anggota badan yang harus dikenai hukuman, maka hukumannya berpindah kepada diyat dalam kasus jarimah qishash.
2.3.3 Tobat dalam kasus jarimah hirabah, meskipun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum menghendakinya.
2.3.4 Perdamaian dalam kasus jarimah qishash dan diyat. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum menghendakinya.
2.3.5 Pemaafan dalam kasus qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak adami.
2.3.6 Diwarisinya qishash. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir, seperti anak membunuh anaknya.
2.3.7 Kadaluwarsa. Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad di dalam hudud tidak ada kadaluwarsa.
Sedangkan dalam jarimah ta’zir mereka membolehkan adanya kadaluwarsa bila Ulil Amri menganggap padanya kemaslahatan umum.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi dalam kasus jarimah ta’zir bisa diterima adanya kadaluwarsa. Adapun dalam jarimah qishash, diyat, dan jarimah qadzaf tidak diterima adanya kadaluwarsa.
Dalam hal ini diterimanya kadaluwarsa dalam jarimah ta’zir, itu bilamana pembuktiannya melalui persaksian dan para saksinya tidak memberikan persaksiannya dalam waktu enam bulan setelah kasus itu terjadi.[9]
Dari paparan diatas ada kesan yang kuat bahwa di dalam menjatuhkan hukuman, kepentingan korban kejahatan dan kepentingan pelaku kejahatan harus dipertimbangkan secara seimbang. Dengan demikian rasa keadilan masyarakat bisa tercapai.




BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan:
3.1.1  Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’ guna memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia
3.1.2 Tujuan Hukuman: 1. Mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut ibn Hammam dalam Fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif); 2. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat menghendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan; 3. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang memberi pelajaran kepada anaknya, dan seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya; 4. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat.
3.2    Saran:
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami mohon maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.


 

DAFTAR PUSTAKA

Abd, al-Aziz. Amir, 1969. Al-Ta’zir fi al-Syariah, Dar al-Fikr al-Arabi: Mesir. cetakan IV.
Abu Ya’la. 1957. Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mustafa al-Bab al-Halabi: Kairo.
Abu Zahrah. tt. Al-Uqubat, Dar al Fikr al-Arabi: ttp.
Al-Ramli. tt. Nihayah al-Muhtaj, al-Bab al-Halabi: Mesir.
Eldin H. Zainal, 2011. Hukmu pidana islam. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Husnel Anwar Matondang, 2010. Al-islam; Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Ibn Abi al-Din (Abidin). 1966. Radd al-Mukhtar ‘ala Dzu al-Mukhtar, Musthafa al-Babal-Halabi: Mesir.
Ibn al-Human. tt. Syarh Fath al-Qadir, ttp.
Ibn Qayyim. 1961. Al-Thuruq al-Hukumiyah fi Siyasah al-Syariyah, Muassasah al-Arabaiyah, ttp.
Mardani, 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Sinar Grafika.
Prof. Drs. Djazuli, H.A. 1997. Fiqh Jinayah Edisi 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet. 2.



[1] Prof. Drs. Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah Edisi 2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2. Hlm. 25
[2] Fathul Qadir, IV, hlm 12.
[3] Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm. 206
[4] Al-Ikhtiyaradi al-Ilmiyah, hlm. 178. –Asiyasah-Asyariyah.
[5] Abu Zahrah, al-Uqubat, hlm. 26-27.
[6] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, VIII, hlm. 172.
[7] Abdul Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’iyah, hlm. 372.
[8] Prof. Drs. Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah Edisi 2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2. Hlm. 33
[9] Ibn Abidin, Hasyiyah ibn Abidin, III, hlm. 172

Artikel Terkait

Previous
Next Post »