Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Di
dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan
manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki
keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya
belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia buruk,
hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus mengembalikan
penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan syari’at.
Adapun
tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat
alkhams (disebut pula maqasid al-syari “ah), yaitu lima tujuan utama hukum
Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh
keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2.
Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau
kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat perbuatan-perbutan yang tidak semestinya dilakukan. Contohnya seperti pembunuhan,
pencurian, perampokan, dll. Yang dapat merugikan orang banyak. Dari uraian
tersebut terlihat bahwa manusia pada zaman sekarang ahklak dan moralnya kurang
terdidik. Perbuatan-perbuatan seperti itu akan merugikan diri sendiri baik di
dunia maupun di akhirat. Hukuman-hukuman yang pantas untuk orang-orang tersebut
haruslah yang bisa membuat dia jera dan tidak mau mengulangi kesalahan-kesalah
yang diperbuatnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1.2.1 Apa
pengertian dari hukuman?
1.2.2 Apa
tujuan ditetapkannya hukuman menurut Hukum Pidana Islam?
1.3
Tujuan
dan Kegunaan Penulisan
Dengan rumusan-rumusan
tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk
mengetahui apa pengertian dari hukuman?
1.3.2 Untuk
mengetahui apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut Hukum Pidana Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
dan Dasar Hukuman
Hukuman
atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal
yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah
al-Jaza’ atau hudud.
A.
Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang
yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Menurut
Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut, Hukuman adalah
pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena
adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.
Maksud
pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan
menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan
lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.[1]
Hukuman
ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib
sosial. Bagi Allah sendiri tidaklah akan memadharatkan kepada-Nya apabila
manusia di muka bumi ini melakukan kejahatan dan tidak akan memberi manfaat
kepada Allah apabila manusia di muka bumi taat kepada-Nya.
Hukum
itu harus mempunyai dasar, baik dari al-Qur’an, hadis, atau lembaga legislatif
yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu
hukuman itu harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang
melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa: “Seseorang tidak
menanggung dosanya orang lain”.
Terakhir,
hukuman itu harus bersifat umum; maksudnya berlaku bagi semua orang, karena
semua manusia sama dihadapan hukum.
2.2
Tujuan
dan Macam-macam Hukuman
2.2.1 Tujuan
Hukuman
Hukuman diterapkan
meskipun tidak disenangi demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan
masyarakat. Dengan demikian, hukuman yang baik adalah:
a. Harus mampu
mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut ibn Hammam dalam Fathul
Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah
terjadinya perbuatan (represif).[2]
b. Batas tertinggi
dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan kemaslahatan
masyarakat, apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, maka hukuman
diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan masyarakat
menghendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan.[3]
c. Memberikan hukuman
kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas dendam,
melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh ibn
Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan
sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena
itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas
kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya,
seperti seorang bapak yang memberi pelajaran kepada anaknya, dan seperti
seorang dokter yang mengobati pasiennya.[4]
d. Hukuman adalah
upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu
maksiat. Sebab dalam konsep Islam seorang manusia akan terjaga dari berbuat
jahat apabila:
1) Memiliki
iman yang kokoh seperti dinyatakan dalam hadits Nabi: “Seseorang tidak akan
melakukan zina ketika ia beriman”. (HR. Muslim)
2) Berakhlak
mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan terhadap orang lain, atau merasa malu
bila melakukan maksiat, atau selalu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.
3) Dengan
adanya sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga seseorang dari terjatuh ke dalam
tindak pidana.[5]
Disamping itu harus diusahakan menghilangkan faktor-faktor penyebab terjadinya
kejahatan dalam masyarakat berdasarkan konsep sadz al-dzariah (upaya menutup jalan dari terjadinya kejahatan).
2.2.2 Macam-macam
Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam
sesuai dengan tindak pidananya.
a) Hukuman ditinjau
dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua:
1. Hukuman
yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash,
diyat, dan kafarah. Misalnya,
hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang
mendzihar istrinya.
2. Hukuman
yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti
percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, dan
melanggar aturan lalu-lintas.
b) Ditinjau dari segi
hubungan antara satu hukuman dengan hukuman lain, hukuman dapat dibagi menjadi
empat:
1. Hukuman
pokok (al-‘uqubat al-ashliyah), yaitu
hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan
hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr
muhshan.
2. Hukuman
pengganti (al-‘uqubat al-badaliyah),
yaitu hukuman yang menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok itu
tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti hukuman diyat/denda
bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan qishashnya oleh keluarga korban atau
hukuman ta’zir apabila karena suatu alasan hukum pokok yang berupa had tidak
dapat dilaksanakan.
3. Hukuman
tambahan (al-‘uqubat al-taba’iyah),
yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok,
seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
4. Hukuman
pelengkap (al-‘uqubat al-takmiliyah),
yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang
dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di
lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan hakim tersendiri. Sedangkan
hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan hakim tersendiri.
c) Ditinjau dari segi
kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua:
1) Hukuman
yang memiliki satu batas tertentu, di mana hakim tidak dapat menambah atau
mengurangi batas itu, seperti hukuman had.
2) Hukuman
yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, dimana hakim
dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti
dalam kasus-kasus maksiat yang diancam dengan ta’zir.
d)
Ditinjau dari
sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat:
1. Hukuman
badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.
2. Hukuman
yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman mati.
3. Hukuman
yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara atau
pengasingan.
4. Hukuman
harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda, dan
perampasan.
2.2.3 Gabungan
Hukuman
Para
ulama berbeda pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman, Imam Malik,
misalnya, mengenal teori al-takakhul,
yaitu apabila seseorang melakukan jarimah
qadzaf dan minum khamr. Sesudah itu, tertangkap. Menurut teori ini,
hukumannya cukup satu, yaitu delapan puluh kali jilid. Alasannya, karena jenis
dan tujuannya sama. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad, hukuman
mati itu menyerap semua jenis hukuman. Demikian pula jika kejahatannya itu berkenaan
dengan hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara
hak Allah dan hak adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami dulu,
baru hukuman yang berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafi’i, setiap
jarimah tidak dapat digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukuman satu per
satu.[6]
2.2.4 Pelaksanaan
Hukuman
Yang
melaksanakan hukuman adalah petugas yang ditunjuk oleh imam untuk melaksanakan
hal itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk hukuman qishash dapat dilakukan sendiri (keluarga korban) dengan pengawasan
imam. Akan tetapi, menurut sebagian ulama yang lain pelaksanaan qishash juga
diserahkan kepada petugas yang berpengalaman, sehingga tidak melampaui batas
yang telah ditentukan.
Adapun
alat untuk melaksanakan hukuman mati menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
harus menggunakan pedang, berdasarkan hadits: “Tidak ada qishash (hukuman mati)
kecuali dengan pedang” (HR al-Bazar dan ibn ‘Adi dari Abu Bukrah).
Sedangkan
menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan sebagian ulama Hanabilah alat untuk
melaksanakan qishash harus dengan alat yang sama dengan alat yang digunakan
untuk membunuh korban. Allah berfirman: Bulan
haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukuman
qishash. Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (QS al-Baqarah:
194).
Dan jika kamu memberikan balasan,
maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.
Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang terbaik bagi
orang-orang yang bersabar (QS al-Nahl: 126).
Para
ulama hukum Islam terkemuka dewasa ini membolehkan penggunaan alat selain pedang.
Asal lebih cepat mematikan dan lebih meringankan penderitaan terhukum, misalnya
dengan menggunakan kursi listrik.[7]
Hal
ini didasarkan pada hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan kepada
segala sesuatu. Oleh karena itu apabila kamu membunuh (memberi hukuman mati),
maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan apabila kamu menyembelih, maka
sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kamu
mempertajam mata pedangnya dan meringankan penderitaan binatang yang
disembelihnya (HR Muslim dari Saddad bin’Aks).
2.3
Syubhat
dan Hal-hal Yang Dapat Mempengaruhi Hukuman
Hukuman hapus apabila:[8]
2.3.1 Pelaku
meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan
harta.
2.3.2 Hilangnya
anggota badan yang harus dikenai hukuman, maka hukumannya berpindah kepada
diyat dalam kasus jarimah qishash.
2.3.3 Tobat
dalam kasus jarimah hirabah, meskipun
Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum
menghendakinya.
2.3.4 Perdamaian
dalam kasus jarimah qishash dan diyat. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat
menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum menghendakinya.
2.3.5 Pemaafan
dalam kasus qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir yang berkaitan
dengan hak adami.
2.3.6 Diwarisinya
qishash. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir, seperti
anak membunuh anaknya.
2.3.7 Kadaluwarsa.
Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad di dalam hudud tidak ada kadaluwarsa.
Sedangkan
dalam jarimah ta’zir mereka membolehkan adanya kadaluwarsa bila Ulil Amri
menganggap padanya kemaslahatan umum.
Sedangkan
menurut mazhab Hanafi dalam kasus jarimah ta’zir bisa diterima adanya
kadaluwarsa. Adapun dalam jarimah qishash, diyat, dan jarimah qadzaf tidak
diterima adanya kadaluwarsa.
Dalam
hal ini diterimanya kadaluwarsa dalam jarimah ta’zir, itu bilamana pembuktiannya
melalui persaksian dan para saksinya tidak memberikan persaksiannya dalam waktu
enam bulan setelah kasus itu terjadi.[9]
Dari
paparan diatas ada kesan yang kuat bahwa di dalam menjatuhkan hukuman,
kepentingan korban kejahatan dan kepentingan pelaku kejahatan harus
dipertimbangkan secara seimbang. Dengan demikian rasa keadilan masyarakat bisa
tercapai.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan:
3.1.1 Hukuman
adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat,
karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’ guna memelihara dan
menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah,
karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan
pelajaran kepada manusia
3.1.2 Tujuan
Hukuman: 1. Mencegah seseorang dari berbuat maksiat. Atau menurut ibn Hammam
dalam Fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya
perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif); 2.
Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat tergantung kepada kebutuhan
kemaslahatan masyarakat, apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman,
maka hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, bila kebutuhan kemaslahatan
masyarakat menghendaki ringannya hukuman, maka hukumannya diperingan; 3. Memberikan
hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti membalas
dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh
ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya
dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh
karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain
atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya,
seperti seorang bapak yang memberi pelajaran kepada anaknya, dan seperti
seorang dokter yang mengobati pasiennya; 4. Hukuman adalah upaya terakhir dalam
menjaga seseorang supaya tidak jatuh ke dalam suatu maksiat.
3.2
Saran:
Demikian
makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang
dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang
lebihnya kami mohon maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran
yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd,
al-Aziz. Amir, 1969. Al-Ta’zir fi
al-Syariah, Dar al-Fikr al-Arabi: Mesir. cetakan IV.
Abu
Ya’la. 1957. Al-Ahkam al-Sulthaniyah,
Mustafa al-Bab al-Halabi: Kairo.
Abu
Zahrah. tt. Al-Uqubat, Dar al Fikr
al-Arabi: ttp.
Al-Ramli.
tt. Nihayah al-Muhtaj, al-Bab
al-Halabi: Mesir.
Eldin H. Zainal, 2011. Hukmu
pidana islam. Bandung: Cita
Pustaka Media Perintis.
Husnel Anwar Matondang, 2010. Al-islam; Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.
Ibn
Abi al-Din (Abidin). 1966. Radd
al-Mukhtar ‘ala Dzu al-Mukhtar, Musthafa al-Babal-Halabi: Mesir.
Ibn
al-Human. tt. Syarh Fath al-Qadir,
ttp.
Ibn
Qayyim. 1961. Al-Thuruq al-Hukumiyah fi
Siyasah al-Syariyah, Muassasah al-Arabaiyah, ttp.
Mardani, 2009. Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Sinar Grafika.
Prof.
Drs. Djazuli, H.A. 1997. Fiqh Jinayah Edisi
2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet. 2.
[1] Prof. Drs. Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah Edisi 2, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1997), Cet. 2. Hlm. 25
[2] Fathul Qadir, IV, hlm 12.
[3] Al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm. 206
[4] Al-Ikhtiyaradi al-Ilmiyah, hlm. 178. –Asiyasah-Asyariyah.
[5] Abu Zahrah, al-Uqubat, hlm. 26-27.
[6] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, VIII, hlm. 172.
[7] Abdul Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’iyah, hlm. 372.
[8] Prof. Drs. Djazuli, H.A. Fiqh Jinayah Edisi 2, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1997), Cet. 2. Hlm. 33
[9] Ibn Abidin, Hasyiyah ibn Abidin, III, hlm. 172
EmoticonEmoticon