Hakikat Hukum Islam Pada Masa
Kodifikasi Dan Kompilasi Hukum
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas - aktivitas yang bernuansa hukum.
Selama kita melakukan suatu aktivitas, kita berarti melakukan tindakan hukum.
Permasalahannya adalah, tidak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya telah
melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari dan memahami bahwa kita telah
melakukan aktivitas hukum, maka kita harus memahami apa dan bagaimana
sebenarnya hukum itu.
Setiap
Muslim seharusnya (atau bisa dikatakan wajib) memahami hukum dan
permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-hari
tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan
ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial (muamalah) di
tengahtengah masyarakat. Permaslahan yang muncul sama seperti di atas, yakni
tidak sedikit kaum Muslim yang belum memahami hukum Islam, bahkan sama sekali
tidak memahaminya, sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Memahami
hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan
kualifikasi yang cukup untuk melakukan hal itu dan juga membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Untuk melaksanakan hukum Islam diperlukan 2 pemahaman yang
benar terhadap hukum Islam. Pemahaman terhadap hukum Islam masih menyisakan
berbagai persoalan, mulai dari pemahaman istilah atau konsep hukum Islam itu
sendiri dan beragamnya pendapat yang ada dalam setiap persoalan hukum Islam.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1 Bagaimana
Pengertian Kodifikasi dan Kompilasi?
1.2.2 Bagaimana
Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum?
1.2.3 Bagaimana
Sisi Positif dan Negatif dari KHI?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.3.1 Mengetahui
Apa Yang Dimaksud Dengan Kodifikasi dan Kompilasi.
1.3.2 Mengetahui
Hakikat Hukum Islam Pada Masa Kodifikasi dan Kompilasi Hukum.
1.3.3 Mengetahui
Sisi Positif dan Negatif dari KHI.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Kodifikasi dan Kompilasi
2.1.1
Kodifikasi
Kodifikasai
adalah penatapan undang-undang secara tertulis atau pembukuan hukum. Dalam
Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically
arranged and comprehensive collection of law. yang berarti himpunan
peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi
(codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan
mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab
hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations)
into a code).
Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah:
“Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices)
voor rechtsgebieden van enige omvang. (menyusun dan membawa masuk secara
teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan
ruang lingkup yang luas).
M.J.
Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van
verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek (menyatukan
berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang).
Henry
Campbell Black mengartikan bahwa: codification adalah the process of
collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a
state or country, or the rules and regulations covering a particular area or
subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code
or revised statute (proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik
hukum-hukum negara atau peraturan dan regulasi yang mencakup bidang tertentu
atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang biasanya menurut subyek
(isi)nya.
2.1.2
Kompilasi[1]
Menurut
bahasa, kompilasi berasal dari Bahasa Latin: ”compilare”, yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Kata ini
dikembangkan dalam Bahasa Inggris menjadi”compilation”
yang berarti suatu kumpulan atau himpunan.[2] Dari pemahaman bahasa ini,
definisi kompilasi dapat dikemukakan, yaitu proses kegiatan pengumpulan
berbagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku sesuai dengan
kebutuhan untuk disusun kembali kedalam sebuah buku baru yang lebih teratur dan
sistematis.
Pengertian
diatas menunjukkan bahwa kompilasi dapat dapat diterapkan di bidang hukum
maupun diluar hukum. Pembuatan buku makalah dengan mengutip banyak sumber data
tanpa analisis sedikitpun juga bisa disebut kompilasi. Kutipan ini tidak
dicantumkan semuanya, melainkan pendapat yang diseleksi sesuai dengan
kebutuhannya. Pendek kata, kompilasi hanya berhubungan dengan karya tertulis.
Dalam
ilmu hukum, kompilasi masih digunakan dalam wilayah hukum Islam. Dalam hukum
Islam, terdapat terdapat aneka pendapat tentang suatu masalah yang berbeda
dalam koridor syari’ah. Semua pendapat ini diseleksi dan dihimpun hingga
menjadi kompilasi. Diluar hukum islam, terkenal degan istilah kodifikasi, yakni
menghimpun peraturan perundang-undangan tentang bidang tertentu dalam satu
buku. Contoh untuk kodifikasi adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam kitab ini, terhimpun semua peraturan yang terkait dengan hukum pidana.
Perbedaan utama antara kompilasi dan kodifikasi adalah terletak pada kekuatan
dan kepastian hukumnya. Kodifikasi lebih kuat kedudukan hukumnya daripada
kompilasi yang hanya menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan hukum.
Kompilasi
bisa digunakan sebagai media untuk meningkatkan pendapat hukum menjadi
peraturan perundang-undangan. Dalam hukum Islam, pendapat hukum berserakan dalam beberapa madzhab. Penggunaan
pendapat hukum ini tentu saja sulit dilaksanakan, karena umat islam tidak bisa
disatukan dalam satu madzhab. Perbedaan aneka pendapat hukum tersebut hanya
dapat diatasi dengan kompilasi, yakni menyeleksi pendapat yang sesuai dengan
kemashlahatan umat. Kompilasi saja tidak cukup, mengingat belum memiliki
kekuatan. Karenanya, kompilasi harus dilanjutkan hingga menjadi peraturan
perundang-undangan. Proses demikian ini terjadi pada proses pembentukan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dari
berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah
proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau
peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Dan menurut perspektif hukum islam, kompilasi diartikan
sebagai rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab
yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi
pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu
himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi.
2.2
Sejarah
dan Perkembangan Taqnin ( Kodifikasi Hukum Islam )
Pemikiran
tentang at-taqnin dalam Islam sebenarnya telah dimulai sejak zaman al-khulafa
ar-Rasyidin (empat khalifah besar), ketika Umar bin al-Khattab mengajukan
usulan kepada khalifah Abu Bakar Siddiq untuk membukukan Alquran. Kemudian pada
zaman Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah, dilakukan pula at-taqnin
terhadap sunnah Rasulullah SAW.
Adapun
ide a-taqnin terhadap hukum Islam (fiqh) pertama kali dicanangkan oleh Abu Muhammad
“Ibnu al-Muqaffa”, sekretaris negara di zaman pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur
(memerintah tahun 137 – 159 H) dari Bani Abbasyiah. Ide ini diajukan oleh Ibnu
al-Muqaffa kepada khalifah karena menurut pengamatannya terdapat kekacauan
hukum dan peradilan ketika itu. Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam
at-taqnin tersebut, antara lain untuk memberikan batasan jelas tentang hukum
sehingga mudah disosialisasikan di masyaraka; dan untuk membantu para hakim
dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang dihadapi, tanpa
harus melakukan “Ijtihad lagi. Inilah yang mendorong Ibnu al-Muqaffa sebagai
sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul kodifikasi hukum Islam,
melalui bukunya ar-risalah as-Sahabah.[3]
Dalam
buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan hukum dan subyektifitas hakim
di lembaga peradiln dapat dihindari dengan adanya kodifikasi hukum Islam. Dalam
kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan agar
hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fikqh, melainkan
dipilih dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai
dengan kondisi dan kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis
berupaya menghilangkan sekap ta’asub (fanatik) mazhab yang merajalela ketika
itu.
Salah
satu pendorong diperlukannya pembukuan hukum Islam adalah perkembangan wilayah
Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai
persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para Ulama Islam
sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan
rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.[4]
Akan
tetapi, ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan
bertaklid di pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka
keterpakuan pada hukum yang teelah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain
dan pemilihan hukut yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula
dapat menghindarkan unsur subyektifitas sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini,
pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Selanjutnya,
Abu Ja’far al-Mansur ketika bertemu dengan Imam Malik, meminta kepadanya untuk
menuliskan sebuah buku yang mencakup semua persoalan fiqh. Semula Imam Malik
secara diplomatis menolak permintaan khalifah tersebut dengan mengatakan :
“Penduduk Irak tidak mungkin menerapkan pendapat saya tersebut”. Tetapi,
khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitab yang akan
disusun itu akan diberlakukan si seluruh wilayah Abbasiyah dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam
Malik untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi
permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.
Sesuai
dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad bin al-Mahdi,
utusan khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, buku al-Muwatta’ ini
merupakan bentuk kodifikasi fiqh ketika itu, akan tetapi, sesuai dengan jawaban
Imam Malik diatas, keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang
terkandung dalam kitab al-Muwatta’ dalam menyelesaikan berbagai kasud
diberbagai tempat dan budaya, tidak berjalan mulus.
Kodifikasi
hukum Islam (fiqh) baru terealisasi pada tahun 1293 H/1876 M oleh kerajaan
Turki Usmani (kerajaan Ottoman) dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam pertama
dalam mazhab hanafi, yang disebut Majallah al-Ahkam al-adliyyah (Hukum perdata
kerajaan Turki Usmani), yang diberlakuakn disegenap wilayah kekuasaan Turki
Usmani ketika itu sampai dasawarsa abad ke-20. majallah al-ahkam al-adliyah
memuat 1.851 pasal yang tersebar dalam 16 bab. Akan tetapi, kodifikasi hukum
yang dihimpun oleh ulama fiqh di zaman turki Usmani ini hanya mencakup bidang
muamalah dan berasal dari satu mazhab saja, yaitu mazhab Hanafi. Mesir dan
Suriah, yang tidak tunduk kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima
kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua daerah itu
bermazhab Syafi’i.[5]
Setelah
perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab.
Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan
diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini
merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada
tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi
hukum Mesir di bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam
(fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir mengalami berbagaii perubahan
antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak pun muncul kodifikasi
hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi hukum Islam di yordania
pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami perubahan pada tahun 1976.
Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani, melakukan kodifikasi pula
pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai mengkodifikasi hukum Islam pada
tahun 1949, Libya pada tahun 1953, Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun
1967 dan negara-negara Islam lainnya.[6]
Sekalipun
yang disebutkan di atas hanya sebagian yang berlaku di negara-negara tersebut,
khususnya di bidang hukum keluarga, perlu dicatat bahwa ide Ibnu al-Muqaffa
tentang kodifikasi hukum (taqnin) baru mendapatkan jawaban setelah
negara-negara Islam dijajah oleh Barat. Dalam upaya menghindari pengaruh hukum
Eropa, ulama dan pakar hukum Islam di berbagao negara tersebut berupaya untuk
melakukan kodifikasi hukum Islam, walaupun tidak meliputi seluruh aspek.
2.3
Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia
Kodifikasi
hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan, tetapi
statusnya masih berada di bawah dominasi hukum adat karena teori resepsi sangat
berpengaruh dalam hukum saat itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa kodifikasi
tersebut dimulai pada tahun 1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-Undang
Perkawinan (UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1979 dan
PP No. 10/1983), yang mengatur secara khusus persoalan perkawinan dan
perceraian bagi pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kemudian
muncul lagi Undang-Undang peradilan agama (UU No. 7/1989). Undang – undang ini
pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang pokok-pokok
kekuasaan kehakiman yang mengakui adanya empat macam peradilan di Indonesia,
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Agama. Keempat peradilan ini memiliki kedudukan samam dan wewenang
secara mandiri mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya.
Selanjutnya,
keluar pula Inpres RI No. 1/1991 tentang Kompilasi hukum Islam dibidang hukum
perkawinan, perceraian, waris, wakaf, wasiat dan hibah. Lahirnya kompilasi
hukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan rangkaian lanjutan dalam upaya
penyajian referensi materi hukum Islam yang seragam bagi semua hakim di
lingkungan peradilan Agama dan instansi terkait, khususnya bidang Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Dengan adanya KHI tersebut
semua produk hukum yang keluar dari lingkungan Peradilan Agama harus berpedoman
dan mengacu kepada KHI tersebut.[7]
Sebelum
muncul UU No. 1/1974, UU No 7/1989, dan Inpres RI No. 1/1991, di Indonesia
telah ada peraturan yang mengatur peradilan agama serta materi hukumnya, namun
semua itu adalah produk dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga
kodifikasi hukum Islam diatas merupakan produk putra-putra Indonesia, yang
menyangkut hukum Islam di Indonesia.
2.4
Metodologi
Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi hukum islam tidak lahir
begitu saja, tetapi dengan menggunakan metodologi. Metodologi yang digunakan
dalam menyusun kompilasi hukum islam itu disesuaikan dengan tujuan yang hendak
dicapai, yaitu penyusunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum sejenis ke dalam
sebuah kitab yang disusun secara sistematis menggunakan dan memanfaatkan
sarana, bahan, dan narasumber yang tersedia. Untuk mengoptimalkan semua itu,
ditempuh berbagai jalan yang disebut jalur dan pendekatan perumusan (muhammad
Daus Ali, 1993,3):
1. Jalur pertama
adalah pengkajian kitab-kitab kuning atau fiqih islam, sebagai anjuran
departemen agama tentang buku pedoman atau pegangan para hakim agama,
dikumpulkan dan dibuat berbagai permasalahan hukum ,kemudian kepada prguruan
tinggi islam atau iain di indonesia diminta untuk membuat pendapat
masing-masing. Kitab itu dan juga kitab lainnya mengenai masalah-masalah hukum
yang telah diselesaikan itu disertai argumentasi atau dalil-dalil hukumnya.
2. Jalur kedua yaitu
jalur ulama di sepuluh ibu kota provinsi di indonesia. Para ulama ini
diwawancarai dsan ditanya (melalui kuisioner) berbagai masalah yang akan dituangkan
ke dalam kompilasi.
3. Jalur ketiga
adalah jalur yurisprudensi peradilan agama sejak zaman hindia belanda dahulu
sampai saat penyusunan kompilasi itu, yang dihimpun dalam berbagai buku
(dokumen), dipelajari, dikaji,dan ditarik garis-garis hukum darinya.
4. Jalur keempat
adalah jalur studi komparatif atau perbandingan ke negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama islam, mengenai hukum dan penerapan hukum islam di negara
tersebut serta sistem peradilan mereka (mohammad Daud Ali, 1993: 3).
Berdasarkan uraian di atas, pola
reformasi kompilasi hukum islam pada dasarnya tidak terlepaskan dari pola-pola
ijtihad yang dikembangkan para ulama fiqih. Paling tidak, terdapat tiga sifat
pola, yaitu meliputi :
1. Doktriner
KHI merujuk pada sumber utama yakni, Alquran dan As Sunnah. Dalam hubungan ini panitia perumus senantiasa memperhatikan asbab an nuzul suatu ayat serta serta asbab alwurud suatu hadis.
KHI merujuk pada sumber utama yakni, Alquran dan As Sunnah. Dalam hubungan ini panitia perumus senantiasa memperhatikan asbab an nuzul suatu ayat serta serta asbab alwurud suatu hadis.
2. Dilihat dari segi
kodifikasi para perumus kompilasai hukum ini mengambil bahannya dari penalaran
para fuqaha yang terdapat dalam berbagai kitab fiqih yang dikaji oleh para ahli
tersebut melalui jalur pertama. Selain itu, diperlukan juga pendapat para ulama
fiqih yang masih hidup di tanah air serta pendapat haklim agama yang tercermin
dalam yurisprudensi, melalui jalur kedua dan jalur ketiga.
3. Legislasi
Terlihat dari usaha pemerintah dan para tokoh masyarakat dalam merumuska, menghimpun, dan mengesahkan dalam bentuk impres. Tahap ini merupakan langkah dalam merumuskan gareis-garis hukum islam yang dituangkan ke dalam bahasa perundang-undangan.
Selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama, yang telah diterima baik oleh para ulama dan sarjana hukum islam seluruh indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 februari 1988, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memelukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga badang hukum tersebut. Menteri Agama, sebagai Pembantu Presiden, dalam Surat keputusannya Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, memintah kepada seluruh instansi Departemen Agama, tersebut peradilan Agama di dalamnya, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan kompilasi hukum Islam dimaksud. Dalam bagian kedua diktum keputusan menteri agama tentang pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu, terutama peradilan Agama (MDA), agar ‘menerapkan’ kompilasi hukum Islam ter-sebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan,kewarisan dan perwakafan.
Terlihat dari usaha pemerintah dan para tokoh masyarakat dalam merumuska, menghimpun, dan mengesahkan dalam bentuk impres. Tahap ini merupakan langkah dalam merumuskan gareis-garis hukum islam yang dituangkan ke dalam bahasa perundang-undangan.
Selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama, yang telah diterima baik oleh para ulama dan sarjana hukum islam seluruh indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 februari 1988, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memelukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga badang hukum tersebut. Menteri Agama, sebagai Pembantu Presiden, dalam Surat keputusannya Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden tersebut, memintah kepada seluruh instansi Departemen Agama, tersebut peradilan Agama di dalamnya, dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan kompilasi hukum Islam dimaksud. Dalam bagian kedua diktum keputusan menteri agama tentang pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu, terutama peradilan Agama (MDA), agar ‘menerapkan’ kompilasi hukum Islam ter-sebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan,kewarisan dan perwakafan.
2.5
Sisi
Positif dan Negatif Taqnin ( Kodifikasi Hukum Islam )
Ide
Ibnu al-Muqaffa untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (taqnin) tidak terlepas
sama sekali dari analisis ulama di zamannya dan ulama sesudahnya. Mereka
melakukan berbagai penelitian dan pembahasan mengenai sisi negatif serta positif
kodifikasi hukum Islam yang diajukan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Dalam
pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum
Islam tersebut antara lain:
1. Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2. Berhentinya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
3. Munculnya persoalan taklid baru. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta berlawanan dengan ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut melanggar perundang-undangan yang sah.
Disamping
sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya
kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain:
1. Memudahkan para praktisi hukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fiqh.
2. Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3. Menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4. Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili, ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hhukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya.
Sekalipun
ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut,
seperti berhentinya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam
di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri masing-masing
karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan politik. Bahkan
di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman
dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana
perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara
dan keuangan negara.
KESIMPULAN
1. Disimpulkan bahwa
kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai
hukum, regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara.
Dan menurut perspektif hukum islam, kompilasi diartikan sebagai rangkuman dari
berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para
ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama
untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan. Himpunan
tersebut inilah yang dinamakan kompilasi.
2. Jalur pertama
adalah pengkajian kitab-kitab kuning atau fiqih islam, Jalur kedua yaitu jalur
ulama di sepuluh ibu kota provinsi di indonesia, Jalur ketiga adalah jalur
yurisprudensi peradilan agama sejak zaman hindia belanda dan Jalur keempat
adalah jalur studi komparatif.
3. Dalam pembahasan
para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut
antara lain: Munculnya kekakuan hukum, Berhentinya upaya ijtihad dan Munculnya
persoalan taklid baru.
Ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya
kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain: Memudahkan para praktisi hukum
untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya, Mengukuhkan fiqh Islam dengan
mengemukakan pendapat paling kuat, Menghindari sikap taklid mazhab di kalangan
praktis hukum dan Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan.
DAFTAR
PUSTAKA
M.
Yasir Nasution, Hukum Islam dan
Signifikansinya dalam Kehidupan Masyarakat Modern, Istislah : Jurnal Hukum,
Ekonomi dan Kemasyarakatan, vol III, No 1, Januari – Juni 2004.
Muhammad
Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh. Dar
al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Nasrrun
Haroen, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam.
Jakarta : PT. Ictiar Baru van Hoeve, 2001.
Rahmat
Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung :
CV. Pustaka Setia, 1999.
Suparman
Usman, Hukum Islam, Asas-Asas dan
Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia .Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2002.
Tim
MKD. Studi Hukum Islam. Surabaya : IAIN SA Press, 2012
Wahbah
Zuhailiy, Ushul al-fiqh al-Islamy.
Beirut, dar al-Fikr, 1980.
(http://economy-syariah-fclass.blogspot.com/2011/04/kodifikasi-dan-kompilasi-hukum-islam.html) (Diakses
tanggal 12 Maret 2013).
(http://ahmadbarokah05.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-latar-belakang_19.html) (Diakses
tanggal 12 Maret 2013).
(http://makalahmajannaii.blogspot.com/TaqninAnekaRagamMakalah.html) (Diakses
tanggal 12 Maret 2013).
[1] Subandi, Bambang, dkk, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN SA
Press, 2012) hal. 268-270
[2] John M. Echols dan Hassan Shadily,
Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia,
1990),132
[3] Prof. Dr. H. Nasrrun Haroen, MA,
dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta
: PT. Ictiar Baru van Hoeve, 2001), Hal. 960.
[4] Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : CV. Pustaka
Setia, 1999), Hal. 27.
[5] Nasrun, dkk, Ensiklopedi…, hal 961.
[6] Ibid.
[7] Prof. Dr. Suparman Usman, SH,
Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar
Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Gaya Media Pratama,
2002), Hal. 147.
[8] Wahbah Zuhailiy, Ushul al-fiqh al-Islami ( Beirut, dar
al-Fikr, 1980), hal. 40.
1 comments:
Write commentsBola Tangkas merupakan permainan yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia. Permainan ini menggunakan alat mesin dan banyak peminatnya setiap waktu.
ReplyPermainan Bola Tangkas ini merupakan permainan yang menggunakan kartu POKER. Namun Anda jangan salah mengira bahwa permainan ini sama dengan permainan Poker Online.
Untuk permainan ini punya perbedaan sendiri, yaitu pada bagian cara penaruhan kartunya. Sedangkan di POKER ONLINE biasanya akan ditaruh di meja namun Bola Tangkas ditampilkan dilayar sebuah mesin SLOT.
Begitu banyak BONUS yang bisa Anda dapatkan dengan cara memainkan permainan ini :
- Royal Flush
- 5 Of A Kind
- Straight Flush
- 4 Of A Kind
- Full House
- Straight
- Flush
- 3 Of A Kind
- 2 Pair
- Ace Pair
Dengan minimal Deposit Rp 50.000 saja sudah dapat memainkan permainan BOLA TANGKAS di BOLAVITA.
Bolavita juga bekerja sama dengan Bank ternama Indonesia. Guna mempermudah Anda untuk bertransaksi.
Yuk gabung sekarang dan jadilah Pemenang Jackpot di BOLAVITA !!
Hubungi kami di sini :
WA / TELEGRAM : +628122222995
#Bolavita #bolavitajackpot #bolatangkas #tangkasnet #betting #bettingonline #situsjuditerpercaya #agenjuditerpercaya #livestreaming #taruhanonline #pokerindonesia #tangkasindonesia
EmoticonEmoticon