Macam-Macam Alat Bukti Dalam Hukum Acara Peradilan Agama
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam
suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk
menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara. Hubungan
hukum inilah yang harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan.
Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang
dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain.
Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan
kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan
untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.
Untuk
membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa
diperlukan alat bukti. Alat bukti apa saja yang harus dibuktikan, untuk itu
selanjutnya akan dibahas pada pembahasan di bawah ini.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:
1.2.1 Apasaja
yang bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam hukum acara peradilan agama?
1.2.2 Bagaimana
jika dalam persidangan hanya menggunakan satu orang keterangan saksi?
1.3
Tujuan
Dan Kegunaan Penulisan
Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas,
tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun adalah:
1.3.1 Untuk
mengetahui apasaja yang bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam hukum acara
peradilan agama.
1.3.2 Untuk
mengetahui bagaimana jika dalam persidangan hanya menggunakan satu orang
keterangan saksi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Macam-macam
Alat Bukti
Alat
bukti adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang
berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran
tuntutan atau bantahannya.[1] Alat bukti yang diakui
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diatur dalam Pasal 164 HIR,
Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 KUH Perdata, sebagai berikut:
a. Alat
bukti surat
b. Alat
bukti saksi
c. Alat
bukti persangkaan
d. Alat
bukti pengakuan
e. Alat
bukti sumpah
f. Pemeriksaan
di tempat
g. Saksi
ahli
2.2
Bukti
Surat
Adalah
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat,
sebagai berikut:
a. Surat
Biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti.
Yang termasuk surat biasa adalah surat-surat yang berhubungan dengan
korespondensi dan lain-lain.
b. Akta
Otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang.
Misalnya, Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain.
c. Akta
di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang.
2.3
Bukti
Saksi
Adalah
orang yang memberikan keterangan di muka sidang,dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia
alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.[2]
Syarat-syarat
saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah, sebagai berikut:
a.
Saksi sebelum
memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.
b.
Yang dapat
diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar, diketahui dan dialami
sendiri.
c.
Kesaksian harus
diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.
d.
Saksi harus dapat
menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.
e. Saksi tidak dapat
memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan dari
saksi.
f. Kesaksian dari
orang lain bukan merupakan alat bukti.
g. Keterangan satu
orang saksi saja bukan merupakan alat bukti. Satu saksi harus didukung dengan
alat bukti lainnya.
Yang
tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut:[3]
a)
Keluarga sedarah
dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
b)
Suami atau istri
salah satu pihak meskiput telah bercerai.
c)
Anak-anak yang
umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15 tahun.
d)
Orang gila
walaupun kadang-kadang inggatannya terang.
2.4
Bukti
Persangkaan
Adalah
kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap
terbukti kearah suatu peristiwa yang
tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang-undang atau
kesimpulan yang ditarik oleh hakim.
Persangkaan
dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:[4]
a. Persangkaan
Undang-undang
Persangkaan undang-undang
adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya
peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti
pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran tersebut
telah dibayar.
b. Persangkaan
Hakim
Yaitu suatu peristiwa
yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara
perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus-menerus. Alasan
ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya
mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah
berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari
keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus
menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan
hidup sendiri bertahun-tahun.
2.5
Bukti
Pengakuan
Adalah
pernyataan seseorang tentang drinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak
memerlukan persetujuan pihak lain.
Pengakuan
ada dua macam, sebagai berikut:[5]
a. Pengakuan
di depan sidang
Adalah pengakuan
pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui
seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian
yang sempurna.
b. Pengakuan
diluar sidang
Pengakuan di luar baik
secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas tergantung pada
penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak
perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan
memerlukan pembuktian atas pengakuan tersebut.
2.6
Bukti
Sumpah
Adalah
suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi
janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa
siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum
oleh-Nya.
Ada
3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu:
a. Sumpah
Supletoir atau sumpah pelengkap yaitu
sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada para pihak untuk melengkapi dan
menambah pembuktian.[6]
b. Sumpah
Decisoir atau sumpah pemutus adalah
sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya.[7]
c. Sumpah
Aestimatoir atau yaitu sumpah yang
dibebankan hakim kepada penggugat untuk menentukan jumlah kerugian.[8]
2.7
Pemeriksaan
Di Tempat
Adalah
pemeriksaan mengenai perkara, oleh hakim karena jabatannya, yang dilakukan
diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat
sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang
peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
Pemeriksaan
di tempat dilakukan dengan pergi ketempat barang yang menjadi objek perkara,
yang tidak dapat dibawa ke persidangan, misalnya keadaan perkarangan bangunan.
Pemeriksaan ditempat dilakukan oleh hakim dengan dibantu oleh panitra. Tujuan
pemeriksaan setempat ialah agar hakim memperoleh gambaran yang jelas tentang peristiwa
yang menjadi sengketa.
2.8
Keterangan
Saksi Ahli
Adalah keterangan
pihak ketiga yang obyektif yang bertujuan untuk membantu hakim dalam
pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan
pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan
bahwa:
3.1 Alat
bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diatur dalam
Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 KUH Perdata, sebagai berikut: Alat
bukti surat; Alat bukti saksi; Alat bukti persangkaan; Alat bukti pengakuan;
Alat bukti sumpah; Pemeriksaan di tempat; Saksi ahli; Pembukuan; dan
Pengetahuan hakim.
3.2 Berkaitan
dengan keterangan satu orang saksi pasal 169 HIR/306R.Bg menyebutkan bahwa
keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu keterangan alat bukti
lain tidak dapat dipercayai didalam hukum. Jadi, tanpa disertai alat bukti yang
mendukung keterangan satu orang saksi tersebut maka keterangan saksi tersebut
bukan merupakan alat bukti.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Kencana.
Abdullah Tri Wahyudi. 2014. Hukum Acara Peradilan Agama, Bandung:
Mandar Maju.
M. Fauzan. 2005. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah
di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah,
Jakarta: Sinar Grafika.
Mukti Arto. 2004. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
[1] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), Hal. 164.
[2] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), Hal. 165.
[3] Pasal 145 ayat (1) HIR.
[4] Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bandung:
Mandar Maju, 2014), Hal. 191.
[5] Ibid. Hal. 192.
[6] Ibid. Hal. 193.
[7] Ibid. Hal. 193.
[8] Pasal 155 ayat (2) HIR.
EmoticonEmoticon